Monday, December 21, 2009

Jurnalisme Publik

Seperti yang hampir selalu mencuat dalam episentrum perbincangan di seputar penyelenggaraan pemilu di negeri ini, wacana tentang peran pers dalam kontestasi politik selama Pemilu 2004 tampaknya kembali mengapung menjadi sebuah hot issue.Paling tidak, itulah yang terbaca dari rumusan UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu, khususnya Pasal 73 Ayat 1 dan 2.

Di dalam kedua ayat tersebut dikemukakan bahwa : (1) Media elektronik dan media cetak memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk menyampaikan tema dan materi kampanye Pemilu.(2) Media elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk memasang iklan Pemilu dalam rangka kampanye.

Secara agregatif, persoalan keadilan atas akses terhadap ruang publik media massa khususnya pers terkesan memang telah ditempatkan sebagai sebuah persoalan krusial. Boleh jadi, hal ini dapat dipahami sebagai upaya untuk menjaga posisi strategis pers sebagai medan wacana yang kondusif bagi setiap kepentingan politik tanpa terkecuali untuk memperjuangkan dan menebarkan pesona ideologisnya.

Namun, seandainya kita cermati lebih jauh lagi rumusan yang tertuang di dalam Pasal 73 di atas sebagai satu-satunya Pasal yang mengatur tentang peran pers dalam penyelenggaraan Pemilu 2004, tidak dapat diingkari munculnya kesan bahwa persoalan keadilan seolah telah dikerutkan semata-mata hanya pada lingkup relasi fungsional antara pers dengan para kontestan pemilu.

Sementara itu, relasi pers dengan masyarakat pada umumnya yang notabene juga merupakan aktor strategis pemilu boleh dikatakan telah tercecer dari perhatian regulasi ini. Dalam bingkai interpretasi yang tersirat di dalam Pasal tersebut, peran pers seolah direduksi sedemikian rupa dalam peran-peran propagandis bagi partai-partai politik yang berkompetisi.

Meminjam istilah Gripsund, pers di dalam sebuah kerangka komunikasi politik idealnya berperan sebagai buffer zone bagi terciptanya dialog triangular di antara masyarakat, negara dan organisasi sosial politik (1992 : 89). Melalui diskusi publik dengan ruang aksesibilitas yang cukup lebar ini, diharapkan kritik masyarakat terhadap public accountability (pertanggungjawaban publik) lembaga politik formal di sekitarnya memiliki kemungkinan untuk lebih terakomodasi.

Kalau kita kembalikan dalam rumusan UU Pemilu saat ini, idealisasi ini pula yang tampaknya belum tercermin di dalam Pasal 73 di atas. Namun, terlepas dari kelemahan yang terbaca dalam rumusan regulasi tersebut, jelas diharapkan bahwa idealisasi tersebut dapat menghembusi kinerja jurnalistik pers khususnya di seputar penyelenggaraan Pemilu 2004 ini.

Berkaitan dengan hal ini, mungkin ada baiknya pula bila kita menengok unikum sebuah genre jurnalisme partisipatoris yang dalam gagasan Edmund Lambert (1998:40) disebut sebagai public journalism.

Ada saat di mana awak media harus duduk sebagai audience yang dengan tekun membaca dan menyerap kebutuhan riil masyarakat dan sebaliknya ada saatnya pula masyarakat juga menjalankan peran para jurnalis yang secara aktif terlibat dalam mengartikulasikan isu-isu tematis yang relevan atau sebaliknya tidak sesuai untuk diapungkan dalam wacana pemberitaan berdasarkan orisinalitas skala kebutuhan mereka sendiri. Di dalamnya, baik pers dan masyarakat masing-masing berperan aktif sebagai sang ”subyek” yang saling melengkapi.

Kalau kita tempatkan dalam konteks pemilu, desain kinerja jurnalistik seperti ini tampaknya menjadi sebuah alternatif strategis yang cukup menjanjikan dalam menciptakan atmosfer komunikasi politik yang berkualitas.

Dalam pengandaian ini, manakala pers telah mampu bertindak sebagai medan artikulasi bagi kebutuhan, harapan dan evaluasi masyarakat, maka pada saat yang sama pers yang notabene juga menjadi media strategis bagi para kontestan pemilu, akan berperan sebagai stimulator bagi para kontenstan pemilu tersebut untuk merumuskan platform berkualitas yang akan ditawarkan dalam ruang-ruang pemberitaan pers.

Berkaitan dengan potensi yang ada di dalamnya, tidaklah mengherankan jika kemudian keberadaan public journalism selama lebih dari sepuluh tahun terakhir mulai dikembangkan di beberapa sistem politik yang berbasiskan demokrasi. Salah satu contoh menarik adalah apa yang telah dipraktikkan oleh Charlotte Observer bersama dengan afiliasi televisi lokal untuk stasiun ABC di negara bagian Carolina Utara USA selama Pemilu tahun 1992.

Pada awalnya, menjelang masa efektif kampanye pemilu untuk memilih anggota senat tersebut, kedua institusi di atas bekerja sama untuk mengadakan polling terhadap 1.000 orang warga negara mengenai persoalan kolektif yang perlu diangkat sebagai isu krusial dalam diskusi publik dengan para kandidat berdasarkan skala prioritas kebutuhan yang mereka miliki.

Pada tahap berikutnya mereka melibatkan 500 dari para responden tersebut sebagai citizens’ panel yang akan merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh para kandidat. Seluruh proses diskusi publik mulai dari hasil jajak pendapat hingga usaha para kandidat untuk memberikan jawaban atas pertanyaan para panelis tersebut menjadi prioritas yang mengisi ruang-ruang pemberitaan di kedua institusi tersebut.
Pada tingkatan ini pula keduanya sekaligus menjalankan peran mediasi bagi berlangsungnya fit and proper test yang dilakukan masyarakat terhadap kualitas platform yang ditawarkan oleh para kandidat.

Maraknya penyelenggaraan polling yang diselenggarakan oleh institusi pers di negeri ini khususnya semenjak pemilu multipartai pada tahun 1999 maupun debat ”publik” para kandidat presiden setahun terakhir sedikit banyak memang memiliki resonansi dengan praktik jurnalisme publik di atas. Namun dalam kenyataannya, elitisitas masih menjadi warna yang sangat kental dalam ruang-ruang produksi pesan yang ada.
Tentu bukan menjadi rahasia lagi jika penyelenggaraan jajak pendapat yang banyak dilakukan oleh berbagai institusi pers selama pemilu 1999 seringkali lebih banyak menjadi produk pesanan dari kepentingan politik tertentu untuk mempengaruhi opini publik.

Demikianpun kalau kita lihat bahwa liputan pers di seputar pemilu cenderung lebih banyak menampilkan konstruksi linear realitas politik sebagai komoditas jajanan yang sarat dengan ikon-ikon sensasionalitas dan bukan kontruksi dialog tentang platform partai-partai politik.

Pada titik ini, tentu sulit mengharapkan orisinalitas gagasan, harapan maupun evaluasi masyarakat terhadap para kontestan pemilu dapat terartikulasiksan dan terbaca secara lebih utuh.

Di satu sisi, memang tidak dapat diingkari bahwa ada begitu banyak kalkulasi dan pertimbangan yang harus dibuat dalam mewujudkan idealisasi public journalism di atas khususnya ketika dihadapkan pada realitas sosio kultural dalam sistem politik di negeri ini.

Namun di sisi lain, kunci utamanya terutama terletak pada pers sendiri. Berpijak pada persyaratan dan isyarat yang dipantulkan dalam genre jurnalisme yang menempatkan partisipasi publik sebagai orientasi dasarnya ini, sedikitnya dua hal yang dibutuhkan pers.

Pertama adalah political courage (keberanian politik) untuk senantiasa menjaga independensinya dari segala distorsi kepentingan politik di luar dirinya dan kedua adalah economic courage (keberanian ekonomis) untuk tidak semata-mata mengarahkan proses produksi pemberitaan di seputar pemilu semata-mata sebagai arena kontestasi berdasarkan pada kepentingan ekonomis-jangka pendek. Semoga !

Sumber :
D. Danarka Sasangka, dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0308/28/opi01.html
28 Agustus 2003

No comments:

Post a Comment