Monday, May 25, 2009

Era Surat Kabar Digital


SAAT Anda membaca Media Indonesia, ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan. Pertama, membaca lewat media kertas atau menggunakan medium internet dengan mengunjungi tautan epaper.mediaindonesia.com pun situs mediaindonesia.com.

Di masa mendatang, alternatif mengeksplorasi berita boleh jadi akan bertambah. Anda bisa membaca surat kabar lewat sebuah gadget. Ya, sebuah gadget yang bisa dibawa ke mana saja dengan berita (berformat surat kabar) yang selalu dikirim ke gadget secara nirkabel.

Saat ini, berita memang sudah bisa dikirim ke ponsel maupun PDA. Namun kebanyakan masih dalam bentuk teks. 'Rasa' grafis dan ilustrasi yang merupakan kekuatan surat kabar tidak bisa dinikmati secara utuh.

Di 'Negeri Paman Sam', baru-baru ini telah lahir generasi terbaru pembaca digital nirkabel yang diberi nama Kindle DX. Kindle memang nama lama, tetapi ia mengusung teknologi berbeda yang konon bisa memuaskan selera Anda dalam membaca berita.

Ketimbang Kindle generasi-generasi sebelumnya, Kindle DX memiliki ukuran yang lebih besar (diagonal 9,7 inci) sehingga lebih nyaman di mata saat kita membaca. Sang produsen, Amazon, dalam situs resminya mengklaim gadget tersebut memiliki fitur Auto-rotate sehingga kita bisa membaca berita dalam formasi landscape maupun portrait. Gadget yang dibanderol US$489 atau sekitar Rp5.370.000 (asumsi US$1 = 11 ribu) itu juga bisa membacakan satu halaman penuh surat kabar untuk kita dengan fitur text-to-speech.

Sudah ada beberapa surat kabar yang bisa kita baca lewat Kindle DX seperti New York Times, Wall Street Journal serta majalah Time, The New Yorker, dsb. Semua surat kabar tersebut dikirim langsung secara nirkabel lewat jaringan 3G yang sudah built-in di Kindle DX.

Beda dengan e-paper

Cara penyajian surat kabar secara digital lewat Kindle DX sekilas mirip dengan e-paper yang ditawarkan internet. Namun, ada perbedaan mendasar di antara keduanya, yakni soal pengarsipan berita. Pada Kindle DX kita bisa melihat sekitar 3500 arsip berita terdahulu. Di samping itu, kita juga tidak harus repot menyiapkan PC atau notebook.

Gadget yang berbalut warna putih itu juga memungkinkan kita membaca ratusan bahkan ribuan buku yang tersedia diAmazon.com dengan banderol US$9,99. Buku yang bersangkutan akan dikirim melalui jaringan pita lebar nirkabel dalam waktu kurang dari 60 detik.

PlasticLogic

Kindle DX dan e-paper hanyalah dua di antara sejumlah teknologi yang mendesak berita agar betul-betul 'menceraikan' kertas. Menurut rumor yang beredar, pabrikan gadget eksklusif Apple juga tengah mempersiapkan sebuah gadget pembaca surat kabar digital untuk memanaskan kompetisi gadget pembaca surat kabar.

Awal 2010 nanti, tantangan dipastikan datang dari PlasticLogioc, sebuah perusahaan yang berbasis di Jerman, Inggris, dan AS. Perusahaan tersebut kabarnya akan merilis sebuah pembaca surat kabar digital--mirip Kindle DX-- yang mengandalkan teknologi plastik elektronik. Belum banyak fitur yang digembar-gemborkan secara resmi oleh PlasticLogic, termasuk perihal harga.

Namun, menurut bocoran dari ireaderreview.com, PlasticLogic akan merilis produk yang lebih funky ketimbang Kindle DX saat ini. Konon PlasticLogic akan membuat pembaca digital dengan layar sentuh. Selain itu, PlasticLogic juga akan menyiapkan memori 6 GB, jauh lebih besar ketimbang Kindle DX yang hanya berdaya ingat 3,33 GB.

Bisnis baru

Kemunculan berbagai gadget pembaca surat kabar digital boleh jadi akan merangsang munculnya semacam model bisnis baru dalam pemberitaan, khususnya di Indonesia. Berita tidak lagi dikawinkan dengan medium kertas, namun diwujudkan dalam format digital. Pengiriman berita juga tidak lagi dilakukan dari pintu ke pintu oleh loper koran, melainkan langsung lewat jaringan nirkabel ke gadget pembaca surat kabar.

Bagi perusahaan pers, model bisnis semacam itu jelas akan lebih menguntungkan karena tidak harus mengeluarkan banyak biaya untuk percetakan. Dari segi lingkungan, jumlah pohon yang ditebang pun bisa ditekan karena tidak mesti menggunakan kertas. Konsumen juga tinggal membayar sejumlah biaya berlangganan atas surat kabar digital yang diterima setiap hari.

Gadget pembaca digital tidak semata-mata menyajikan berita. Karena berita apa pun bisa kita peroleh gratis dengan berselancar di dunia maya. Lebih dari persoalan biaya, gadget tersebut juga menawarkan kenyamanan. Contohnya, kita bisa dengan nyaman mengelola dan membuat arsip berita dan relatif aman dari ancaman malware. Kita tunggu saja kapan itu akan terjadi di Tanah Air. (OL-5) (16 Mei 2009)

Sumber :

Ahmad Sofiullah
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/05/05/74901/43/7/Era-Surat-Kabar-Digital
25 Mei 2009

Sumber Gambar :
http://yosnex.blogsome.com/images/Media_indo320.JPG

Bedanya Menjadi Jurnalis di Media Surat Kabar dan Media TV


Apa sih bedanya, kerja sebagai jurnalis di media suratkabar dan di stasiun televisi siaran? Dalam prinsip jurnalistik yang diterapkan, secara garis besar sebenarnya tidak ada perbedaan. Kriteria layak berita di suratkabar dan di media televisi, relatif juga sama. Hanya, di media televisi ada penekanan lebih besar pada aspek visual (gambar). Hal yang bisa dipahami, karena televisi adalah media audio-visual.

Saya pernah bekerja selama tujuh tahun di Harian Kompas (1988-1995), dan sekarang bekerja di Trans TV (sejak Februari 2002). Berdasarkan pengalaman pribadi, perbedaan yang saya rasakan -- sebagai jurnalis di dua jenis media itu -- justru pada aspek lain. Yaitu, lebih pada kejelasan porsi tanggung jawab dan peran kinerja, yang bisa berpengaruh langsung pada kemajuan atau kemunduran perusahaan media tempat saya bekerja. Juga, pada perbedaan peluang untuk “tampil” berkarya secara individual.

Di media cetak, seperti di harian Kompas, saya bisa menulis berita atau artikel dengan byline, mencantumkan nama sendiri di tulisan tersebut. Meskipun setiap tulisan yang dimuat itu sudah melalui proses penyuntingan oleh orang lain, baik dari segi bahasa ataupun content, saya tetap bisa mengklaim bahwa itu adalah tulisan karya “saya”. Bisa dibilang, 90 persen dari materi yang dimuat itu adalah karya saya.

Di media televisi, tampil secara individual itu sulit dilakukan, karena semua paket berita ataupun tayangan benar-benar dikerjakan secara kolektif. Untuk liputan berita pun minimal sudah harus dikerjakan berpasangan, oleh seorang reporter dengan seorang camera person. Walaupun, bisa juga dilakukan seorang diri sebagai VJ (video journalist).

Namun, menjadi VJ jelas merupakan tugas berat yang merepotkan. Peran VJ ini biasanya lebih banyak dilakukan untuk menyiasati kekurangan tenaga camera person. Jadi, reporter diharapkan juga bisa memegang kamera. Belum lagi menyebut, hasil liputan ini harus diedit oleh seorang editor, yang ditugasi khusus untuk itu. Peran seorang editor sangat penting, karena hasil liputan yang bagus pun bisa jadi berantakan, jika dikerjakan oleh editor yang buruk.

Perbedaan yang lain, di media suratkabar, kemajuan (baca: peningkatan tiras atau sirkulasi, serta pemasukan iklan) suratkabar itu tidak mudah diatribusikan pada peran individu atau rubrik tertentu.

Apakah penjualan Kompas meningkat karena pembaca menggemari tulisan kolom Budiarto Shambazy, yang kritis dan agak kocak? Atau karena menikmati tulisan Maria Hartiningsih, yang sensitif dalam mengangkat nasib kaum tertindas? Atau karena isi tajuk rencananya, yang mencerahkan? Atau oleh artikel-artikel opini yang dimuat? Atau oleh rubrik olahraga di halaman dalam? Kita bisa menduga-duga, tetapi sulit untuk menjawab dengan pasti.

Oke, tentu saja bisa dilakukan survei pembaca, untuk mencari jawabannya. Tetapi, kalau mau jujur, seberapa sering sih sebuah suratkabar mengadakan survei pembaca? Berbeda dengan data rating dan share stasiun TV, yang dipasok oleh AGB Nielsen setiap minggu (bahkan setiap hari), pengelola suratkabar tak mungkin mengadakan survei setiap minggu atau setiap bulan. Jika setiap tahun diadakan satu kali survei saja, sudah bagus!

Jadi, kecuali karena perilaku jurnalis yang jelas terlihat (misalnya, sering membolos, atau sering terlambat menyerahkan tulisan), agak sulit untuk menilai kinerja seorang jurnalis di suratkabar. Ini sangat berbeda dengan di media televisi, yang setiap minggu (bahkan kini setiap hari) ada data rating dan share setiap program, yang dipasok oleh lembaga pemeringkat AGB Nielsen. Setiap minggu, jelas terlihat, program mana yang share dan ratingnya ambruk, dan program mana pula yang meningkat.

Jadi, setiap producer yang menangani program TV tertentu, tidak bisa bersembunyi atau “lepas tangan.” Jika rating dan share sebuah stasiun TV merosot drastis, dengan melihat angka rating dan share setiap programnya, dengan mudah bisa ditunjuk producer-producer mana saja yang harus bertanggung jawab atas kemerosotan itu. Ini tentu ada untung-ruginya.

Untungnya, kinerja setiap producer atau jurnalis di media TV sangat transparan. Setiap orang bisa menilai, karena ada ukuran kinerja yang jelas, yaitu rating dan share setiap program. Ini memberi tuntutan pada setiap producer dan crew program yang dipimpinnya, untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja. Walaupun, bisa saja didebat bahwa angka rating dan share itu tidak identik dengan kualitas program.

Namun, dalam iklim industri media televisi sekarang, bottom line-nya memang bukan pada kualitas program, tetapi pada keuntungan dari pemasukan iklan. Suka atau tidak, itu kenyataannya. (Jakarta, 16 Mei 2008)

Sumber :
Satrio Arismunandar
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=8240

Sumber Gambar :
http://media.photobucket.com/image/tina%20tv%20one/RedsBlack/lain2/tina4.jpg

Peran Media TV


Jamie Stobie, sutradara film FREEDOM MACHINES, yang berasal dari Amerika bercerita tentang filmnya yang bercerita mengenai issue issue difabilitas atau kecacatan, berkata “ I don’t have any visible disabilities, and it was very hard for me to get that perspective “. Ia bekerja sama dengan aktivis kecacatan di California Utara, hanya untuk mendapatkan perspektif mereka secara utuh, dan menangkap apa yang benar benar mereka inginkan, dan tetap saja ia merasa ragu, apakah ia orang yang tepat untuk bisa memahami dunia yang akan diangkat dalam filmnya. Lebih lanjut ia mengatakan “ We screened the film many times for people in this community. We would either end up with a film that the filmmakers liked, that people with disabilities hated, or we would end up with a cut that people with disabilities thought was right, but the filmmakers would say didn’t work because the story wasn’t there. It was really a challenge. “

Dari cerita diatas ada satu hal yang sangat penting, yakni bagaimana mendapatkan perspektif mengenai dunia difabilitas atau kecacatan secara proposional. Ada pola pandang yang salah terhadap komunitas ini, yakni banyak orang berpikir bahwa seharusnya tetap menjadi tanggung jawab keluarganya masing masing, dan tidak membebani dunia luar. Kita lupa bahwa cacat fisik yang diderita mereka tidak berhubungan dengan intuisi, pemikiran, dan kecerdasan mereka. Banyak yang ingin tetap sekolah, bekerja dan berinteraksi seperti halnya orang orang normal disekitarnya. Bahkan bagi Rory Thomas Hoy, menjadi seorang penderita autis bukan halangan untuk menjadi seorang sutradara, mengesankan ia telah membuat kurang lebih 26 film pendek, dan beberapanya telah diputar di BBC program. Salah satunya berjudul AUTISM AND ME telah memenangkan Camelot Foundation’s annual 4th award. Ia menjelaskan latar belakang filmnya “The whole idea behind my project is to help others who have been affected by autism in the best way I can, and that’s by making a film, as that’s what I’m best at doing! It’s not easy being autistic and other people don’t know how we feel. In my film, I can give them an idea with everyday examples, so they can, hopefully, relate to them. It will also help them to understand us more “.

Dalam kehidupan bermasyarakat masih ditemui rendahnya tingkat kesadaran dalam mengapresiasi masalah difabilitas (kecacatan). Dalam kehidupan sehari-hari, meski tiap-tiap komponen masyarakat fasih melafalkan term demokrasi, pada kenyataannya hasrat untuk menempatkan kaum difabel pada posisi sosial yang adil dan setara masih rendah. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat cenderung enggan menerima kaum difabel “apa adanya” dalam lingkungan sosial mereka.. Hal ini tampak pada sulitnya memenuhi keinginan kaum difabel untuk untuk mendapatkan aksesibilitas ruang publik dalam menjalani kehidupan sehari hari. Tak ada yang berpikir bahwa hak hak mereka sebagai warga negara setara dengan mereka yang normal dan sehat.

Saya mempunyai teman, seorang music composer yang biasa membuat musik untuk film film iklan TV.Tak ada yang tahu jika musik musik indah dari sebuah iklan lahir dari tangannya, seorang penderita cacat yang harus memakai kursi roda. Jika ia memiliki 10 orang karyawan, yang katakanlah masing masing memiliki 2 orang anak, maka ia bisa menghidupi 40 orang normal. Bagaimana jika kita mempunyai 10,000 orang difabel yang profesional dengan pekerjaannya, berarti mereka bisa menanggung hidup sejumlah 400.000 orang. Apakah kita tega menutup kesempatan bagi mereka yang berpotensi menghidupi ratusan ribu bahkan jutaan orang lain, karena pemikiran kalkulasi yang picik, bahwa jumlah difabel yang sedikit akan menjadi tidak ekonomis kalau harus dibuatkan aksesibilitas seperti ramp bagi kursi roda dan guiding block bagi tunanetra misalnya.

Lebih lanjut dalam kerangka acuan National Workshop ” Disability awareness for journalist ” di Yogjakarta awal tahun 2006 disebutkan, ”…Kondisi tersebut tentunya cukup memprihatinkan. Pasalnya, marginalisasi peran dan fungsi difabel di tengah iklim demokrasi hanya akan mereproduksi satu bentuk kekerasan sosial baru di masyarakat. Kekerasan itu nyata telah terjadi, misalnya seorang tunanetra ditolak mendaftar ujian calon pegawai negeri sipil karena panitia tidak menyediakan soal dalam huruf braille, pemakai kursi roda ditolak mendaftar kuliah karena laboratorium kampus tersebut di lantai dua sementara tidak ada ramp maupun lift, Dinas Tenaga Kerja menolak difabel untuk mengikuti kursus karena menurut mereka tempat difabel adalah di Dinas Sosial, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan yang lain..”

Sangat disayangkan, perhatian media massa melalui industri film dan televisi terhadap permasalahan difabel juga masih rendah. Lalu bagaimana industri ini bisa menjadi kontribusi yang besar bagi pemahaman isue isue kecacatan dengan perspektif yang masuk akal dan bertanggung jawab

Pertama tama yang harus dilakukan adalah mendorong media TV dan film sebagai pembongkar bentuk-bentuk kekerasan yang selama ini disembunyikan oleh culture, serta mengubah pola pikir masyarakat yang semula diskriminatif menjadi peduli dan menempatkan difabel setara dengan dirinya. Dalam perkembangan sejarah umat manusia, media ini terbukti berpengaruh terhadap pembentukan pola pikir masyarakat Mulai dari promosi suatu produk, hiburan , propaganda sampai syiar agama bisa memakai media ini. Bagaimanapun juga Film adalah cermin dari budaya bangsa, sehingga pesan pesan atau muatan yang terkandungnya juga merupakan refleksi budaya dan perilaku yang terjadi di masyarakat.. Masih ingat, model potongan rambut pendek ala Demi Moore sempat menjadi trend di kalangan wanita, ketika film GHOST meledak beberapa waktu yang lalu, atau mendadak kaum muda menjadi keranjingan puisi setelah melihat sosok Rangga dalam film ADA APA DENGAN CINTA.

Di negara seperti Russia saja mempunyai program tahunan untuk festival film Internasional untuk film film disability awareness, yang diikuti oleh film film dari seluruh penjuru dunia. Dalam festival film yang diselenggarakan Perspektiva, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang lebih dari satu dekade memberikan pelayanan pada komunitas difabel, menampilkan mulai dari features, docomentaries, publics service announcement sampai animasi , sehingga bisa menjadi sarana media yang menyuarakan keberadaan kaum difabel melalui industri film.

Bahkan ada Festival Cinema for the Deaf , acara tahunan di Chicago untuk film film bagi kaum tuna rungu, yang dibidani oleh Association of Deaf Media Professionals. Kita membayangkan diantara gegap gempitanya film film Holywood, mereka masih bisa memproduksi ( dan banyak ) film film khusus yang adegannya tidak memakai dialog suara, tetapi gerakan gerakan tangan untuk berkomunikasi. Lalu bagaimana dengan di Indonesia ? Sejalan dengan kemajuan film nasional saat ini, sangat disayangkan tidak ada satu tema mengenai isue ini yang diangkat dalam cerita skenario. Sangat ironis , jika dalam film film jaman era tahun 70 an saja kita masih menemui cerita cerita seperti anak yang terjatuh lalu menjadi buta, tetapi masih berusaha menjalani hidupnya dengan tegar. Sedangkan pada sebuah sinetron televisi, kita melihat sinetron Cecep yang dibintangi Anjasmara, tidak sama sekali menyuarakan aspirasi komunitas difabel. Hanya sosok bodoh yang lucu yang terus dieksploatasi, demi memancing gelak tawa pemirsa.

Mengapa hal itu terjadi ? mungkin karena para produser berpikir lebih pragmatis bahwa menjual program acara atau cerita yang bersifat komedi, horor atau percintaan remaja dengan dunia cafe atau mall lebih menjual angka rating tontonan mereka. Padahal semua itu tergantung kepada bagaimana cerita itu diangkat. Ada ilustrasi kasus menarik, dalam cerita Si Buta dari Gua hantu yang juga diangkat ke layar lebar dan televisi. Setidaknya secara komersil film itu juga diminati dipasar dan di sisi lain bisa memberikan perspektif baru bahwa seorang jagoan pembela kebenaran tidak harus orang yang sehat jasmaniah.

Kedua, adalah bagaimana memberdayakan peran Pemerintah. Sebenarnya setelah tumbangnya orde baru, kita memiliki kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menaikan kesetaraan komunitas difabel ini, mengapa tidak, dengan memiliki presiden dan ibu negara yang ( kebetulan ) memiliki handicap fisik secara jasmani, seharusnya isue isue ini bisa menjadi program konsisten dari pemerintahan mereka. Jaman dulu saja, dalam acara berita di TVRI , di pojok gambar selalu ada caption berisi orang yang menjelaskan isi berita dengan gerakan tangan bagi penderita tuna rungu, yang mana saat ini sudah tidak ada lagi di televisi nasional. Jika kita lihat di televisi saat ini banyak iklan iklan layanan masyarakat dari Pemerintah ( Public Service Announcement ) mengenai penebangan hutan, lingkungan hidup, kekerasan terhadap wanita, PMI, sampai iklan untuk edukasi pencegahan demam berdarah dan flu burung. Mengapa sama sekali tidak ada alokasi dana untuk pembuatan iklan layanan masyarakat mengenai aspirasi dan kesetaraan kaum difabel. Ini menjadi bukti rendahnya apreasiasi Pemerintah terhadad isue isue ini. Padahal banyak BUMN, Bank atau perusahaan rekanan pemerintah yang bisa dengan mudahnya mendanai pembuatan iklan layanan masyarakat ini. Dengan angka 1 milyar rupiah saja sudah bisa membuat sebuah iklan layanan masyarakat termasuk dengan biaya pemasangan di media televisi selama sebulan. Bandingkan dengan angka triliunan rupiah kredit macet yang terbuang sia sia.

Dengan adanya iklan layanan masyarakat yang berulang ulang, terlebih ditambah jatah penanyangan secara gratis dari pemilik TV swasta, maka akan menggulirkan bola kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat. Pemilik gedung, manufaktur kendaraan, pengelola fasilitas dan sarana transportasi umum, sampai perusahaan atau kantor kantor.

Lebih jauh Jamie Stobie mengatakan, “ The most interesting thing I learned is how the word “disability” becomes a label. There’s a great dissonance between those of us who feel we’re normal and those whom we label as disabled. We’re often afraid to make eye contact with people in wheelchairs, who don’t look quite “normal.” And that changed me forever, when I realized that the barriers that divide us are not so much physical as cultural, that they grow out of the way that we look at people. “

Oleh karenanya, dalam proses transformasi sosial menuju terciptanya tatanan kehidupan bersama yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan dan kebebasan, keterlibatan media massa ini diperlukan. Keterlibatan dalam konteks ini tidak saja terkait dengan fungsi edukasi sosial yang melekat pada media, tetapi juga bagaimana film dan televisi bisa memainkan peran kritisnya dalam mendekonstruksi ketimpangan sosial yang memarginalkan peran dan posisi kaum difabel di masyarakat.

Sumber :
Iman
http://blog.imanbrotoseno.com/?p=6
25 Mei 2009

Sumber Gambar:
http://www.bangakbar.com/gambar/article/summary/693/remote_tv.jpg

TV, Radio, Koran, Internet Harus Bersatu


KONVERGENSI media adalah sebuah keharusan. Sebab, masyarakat zaman ini tidak lagi cukup mengonsumsi satu media untuk mendapatkan informasi. Mobilitas masyarakat menuntut sebuah layanan multimedia untuk distribusi informasi. Demikian terungkap dalam diskusi terbatas "Konvergensi Media: Peluang dan Tantangan New Media di Indonesia".

Hadir sebagai pembicara wartawan senior Harian Kompas Ninok Leksono dan Ketua Komite Tetap Bidang Telematika KADIN, Anindya Bakrie. Ninok mengungkapkan, sebuah penelitian di luar negeri mendapatkan, kebiasaan masyarakat dalam memperoleh informasi dari pagi hingga malam menunjukkan pola multimedia. Pagi sebelum ke kantor orang biasanya melihat koran; berangkat ke kantor mendengarkan radio di mobil; browsing internet saat coffee time; mendapat breaking news saat lunch time; kembali membuka koran atau majalah saat tea time; dan menonton televisi di malam hari.

"Masyarakat membutuhkan informasi yang cepat dan itu dapat difasilitasi oleh teknologi. Teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan terakomodasinya kebutuhan mendapat informasi secara fleksibel, anywhere, anytime, with anymeans," terang Ninok. Oleh karena itu, lanjut Ninok, arah perkembangan media ke depan adalah konvergensi antarmedia.

"Persaingan industri bukan lagi koran melawan koran, online melawan online, tapi media melawan media. trend industri kelompok media harus punya TV, koran, online, radio, dan sebagainya," kata dia.

Anindya Bakrie mengamini pandangan Ninok. Dalam presentasinya, ia menekankan tentang perlunya regulasi yang mengatur konvergensi media ini. "Perlu adanya undang-undang (UU) konvegensi yang mengintegrasikan dan mensinkronkan antara UU telekomunikasi, UU Penyiaran, UU pers, UU keterbukaan informasi, UU informasi dan transaksi elektronika, dan UU terkait lainnya," jelasnya. (9 Desember 2008)


Sumber :
Heru Margianto
http://tekno.kompas.com/read/xml/2008/12/09/13494128/tv.radio.koran.internet.harus.bersatu
25 Mei 2009

Sumber Gambar:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinbuM9k3Uo03BBqOek4WbdRhug8RM8WXj7U04utT_I-Oo4lZNTjWQmJAjg7ul2VfMGL0pWKvaqpDSFEPBlYXMbJdRepxx04a1asGRZUZdkZbdEQ9llK-H1BMbLi_-fbvJOHWNLGt_7xlnD/s400/elect11k.png