Tuesday, March 17, 2009

KAMPANYE TV SEHAT, MENGAPA PERLU ADA TV SEHAT ?


Anak merupakan kelompok pemirsa yang paling rawan terhadap dampak negatif siaran TV.
Data th 2002 mengenai jumlah jam menonton TV pada anak adalah 30-35 jam/minggu atau 1560-1820 jam/ tahun . Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar di sekolah dasar yang tidak sampai 1000 jam/tahun.

idak semua acara TV aman untuk anak. Bahkan, “Kidia” mencatat bahwa acara untuk anak yang aman hanya lk. 15% saja. Oleh karena itu harus betul-betul diseleksi.
Saat ini jumlah acara TV untuk anak usia prasekolah dan sekolah dasar perminggu sekitar 80 judul ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 170 jam. Padahal dalam seminggu ada 24 jam x 7 = 168 jam! Jadi, selain sudah sangat berlebihan, acara untuk anak juga banyak yang tidak aman.

Acara TV bisa dikelompokkan dalam 3 kategori: Aman, Hati-hati, dan Tidak Aman untuk anak.

Acara yang ‘Aman’: tidak banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis. Acara ini aman karena kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami. Anak-anak boleh menonton tanpa didampingi.

Acara yang ‘Hati-hati’: isi acara mengandung kekerasan, seks dan mistis namun tidak berlebihan. Tema cerita dan jalan cerita mungkin agak kurang cocok untuk anak usia SD sehingga harus didampingi ketika menonton.

Acara yang “Tidak Aman”: isi acara banyak mengandung adegan kekerasan, seks, dan mistis yang berlebihan dan terbuka. Daya tarik yang utama ada pada adegan-adegan tersebut. Sebaiknya anak-anak tidak menonton acara ini.
TV Sehat adalah cara menggunakan atau mengkonsumsi TV dengan cara yang sehat, yakni tidak lebih dari 2 jam sehari dan memilih acara yang aman dan bermanfaat.

Dampak Menonton TV

Menonton TV bisa diumpamakan dengan makan. Kalau yang ditonton adalah materi yang baik maka akan memberikan manfaat tapi kalau yang ditonton adalah materi ‘sampah’ maka dapat membuat sakit orang yang mengkonsumsi.

Dampak-dampak menonton TV yang sering ditemukan adalah:

Dampak menonton TV terhadap perkembangan otak anak usia 0-3 tahun dapat menimbulkan gangguan perkembangan bicara, menghambat kemampuan membaca-verbal maupun pemahaman. Juga, menghambat kemampuan anak dalam mengekspresikan pikiran melalui tulisan, meningkatkan agresivitas dan kekerasan dalam usia 5-10 tahun, serta tidak mampu membedakan antara realitas dan khayalan.

Anak-anak merupakan target pengiklan yang utama sehingga mendorong mereka menjadi konsumtif.

Anak yang banyak menonton TV namun belum memiliki daya kritis yang tinggi, besar kemungkinan terpengaruh oleh apa yang ditampilkan di televisi. Mereka bisa jadi berpikir bahwa semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Hal ini akan mempengaruhi sikap mereka dan dapat terbawa hingga mereka dewasa.
Bahasa televisi simpel, memikat, dan membuat ketagihan sehingga sangat mungkin anak menjadi malas belajar.

Terlalu sering menonton TV dan tidak pernah membaca menyebabkan anak akan memiliki pola pikir sederhana, kurang kritis, linier atau searah dan pada akhirnya akan mempengaruhi imajinasi, intelektualitas, kreativitas dan perkembangan kognitifnya.
Tayangan-tayangan tertentu yang bermutu dapat menjadi sumber belajar sehingga dapat membantu anak memahami dunia sekitarnya, memperkaya pengalaman hidup, menambah pengetahuan umum, dan melengkapi pelajaran di sekolah.

Apa yang bisa dilakukan?

# Lakukan pendampingan aktif selama amak menonton TV.
# Memilih program yang paling sesuai untuk usia anak.
# Sebaiknya letakkan di ruang tengah sehingga orangtua atau orang lain dapat dengan mudah mengetahui acara apa yang ditonton oleh anak-anak.
# Coba tanyakan pada anak, film apa atau acara apa yang mereka suka sehingga kita bisa membantu mempertimbangkan apakah acara tersebut pantas atau tidak untuk anak seusia mereka.
# Diskusikan dan bahas acara-acara yang sudah ditonton bersama anak. Ajak mereka untuk menilai karakter tokoh utamanya dan kelakuan tokoh lain dalam acara itu secara positif.
# Jika orangtua memutuskan untuk mengurangi menonton TV atau bahkan mematikan pesawat TV, maka banyak hal yang bisa dilakukan oleh anak-anak baik oleh mereka sendiri maupun bersama anggota keluarga yang lain seperti misalnya:
1. Mengajak anak untuk pergi ke tempat-tempat rekreasi seperti misalnya ke Kebun Raya, tempat outbond.
2. Membaca. Ajaklah anak ke taman-taman bacaan. Biarkan buku-buku terjangkau dengan mudah oleh anak. Berikan buku sebagai hadiah. Membacalah dengan anak. Tanyakan pada mereka buku yang mereka baca.
3. Hiking. Lazimnya hiking dilakukan di tempat-tempat yang banyak pohon-pohonnya atau bahkan di hutan. Jika di kota tidak memungkinkan, berjalan-jalan di taman kota atau tempat lain yang representatif bisa menjadi alternatif.
4. Bersepeda atau kegiatan olahraga lainnya. Kegiatan ini bisa dilakukan anak bersama teman-teman mereka atau seluruh anggota keluarga. Cari tempat yang aman dan nyaman.

Sumber :
http://www.kidia.org/statik/banner/kampanye_tv/
17 Maret 2009

Sumber Gambar :
http://www.kidia.org/statik/banner/kampanye_tv/
http://irahayu07.files.wordpress.com/2008/07/baby_tv2.jpg
http://pertekkom.blogdetik.com/files/2008/04/televisi.jpg

MENYELAMATKAN SURAT KABAR


BELUM lama ini "perang surat kabar" berlangsung di London. "Perang" ini berkaitan dengan diluncurkannya, dalam waktu yang tak terpaut jauh, dua surat kabar baru yang diberikan secara gratis kepada para pembaca. Yang pertama adalah Lite, diterbitkan oleh perusahaan Associated Newspapers, diluncurkan di pekan terakhir Agutus. Yang kedua adalah thelondonpaper, diterbitkan oleh perusahaan News International milik "raja media" Rupert Murdoch, diluncurkan di pekan pertama September. Peluncuran surat kabar yang disebut terakhir ini bahkan dipercepat dua pekan dari jadwal semula karena ingin segera hadir di tangan pembaca.

"Perang" yang sengit tak terhindarkan karena kedua surat kabar baru ini sama-sama beredar di sore hari, diterbitkan dengan jumlah tiras sama-sama 400 ribu. Masing-masing surat kabar menggunakan pengedar perorangan yang berbeda. Mereka membagi-bagikan surat kabar tersebut di sejumlah lokasi yang dianggap strategis.

Kehadiran dua pendatang baru ini menambah jumlah surat kabar gratis yang beredar di London, sehingga total menjadi empat. Dua lainnya sudah beredar beberapa waktu sebelumnya, yakni Metro (penerbitnya sama dengan penerbit Lite), dan City AM yang lebih memfokuskan diri pada berita-berita keuangan. Metro dan City AM beredar di pagi hari, dengan target pembaca para pekerja komuter yang tengah berangkat menuju kantor. London bukan satu-satunya ajang perang sengit surat kabar gratis di benua Eropa. Ibukota Denmark, Copenhagen, juga mengalami hal yang sama. Sepanjang September - Oktober 2006, setidaknya tiga lagi surat kabar gratis baru diluncurkan (masing-masing adalah Dato, 24timer, dan metroXpress edisi sore) oleh perusahaan media yang berbeda. Sebelumnya sudah ada dua surat kabar gratis, masing-masing Urban dan metroXpress edisi pagi). Untuk sebuah kota seukuran Copenhagen dengan jumlah penduduk sekitar satu juta orang, agak sulit membayangkan bagaimana kelima surat kabar gratis ini bisa bertahan, hanya dengan mengandalkan "kue" iklan yang sudah pasti akan diperebutkan dengan seru.

Tentu sangat beralasan apabila seorang konsultan media asal Denmark, Per Osterlund, yang berkunjung ke Indonesia di pekan pertama November ini mengatakan, persaingan surat kabar gratis di negerinya itu akan berlangsung bagai sebuah perang yang habis-habisan. Masih kabar dari Denmark. Sebuah surat kabar harian nasional bernama Politiken mengubah format dan tampilannya, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-222 pada tanggal 1 Oktober lalu. Dengan format barunya ini, Politiken menyajikan berita-berita dalam kemasan yang ringkas, namun sejumlah berita yang dinilai penting dipaparkan dengan lebih mendalam. Dengan kata lain, Politiken menyediakan lebih banyak analisis, komentar dan informasi-latar belakang. Mereka menamakan format baru berita-berita mereka sebagai "berita yang merangsang pemikiran", dan bukan "berita-berita cepat".

Sejumlah ilustrasi yang disampaikan di atas dimaksudkan untuk memperlihatkan tengah terjadi gelombang perubahan besar di dunia industri surat kabar. Perilaku masyarakat mengkonsumsi informasi yang disajikan oleh surat kabar telah mengalami perubahan selama lebih dari satu dekade terakhir ini. Salah satu penyebab utama perubahan perilaku ini adalah kehadiran internet, yang memiliki kemampuan untuk menyediakan informasi secara cepat, ringkas, dan relatif mudah didapat oleh mereka yang memiliki akses Internet.

Hampir semua riset menyimpulkan bahwa Internet memang telah berdampak signifikan terhadap bukan saja dalam hal cara orang mengkonsumsi surat kabar, bahkan lebih jauh dari itu, yaitu menggerogoti jumlah tiras surat kabar yang kini menjadi fenomena yang menimpa seluruh penjuru dunia.

Data Asosiasi Penerbit Surat kabar Sedunia (World Association of Newspapers, bermarkas di Paris), untuk kurun waktu 1995-2003, misalnya, menunjukkan jumlah total tiras surat kabar mengalami penyusutan sebesar 2% di Jepang, 3% di Eropa, dan 5% di Amerika. Dengan kondisi yang serba suram ini, tidak mengherankan apabila terjadi juga penyusutan pendapatan. Perusahaan penerbit salah satu surat kabar paling berpengaruh di dunia, The New York Times, tahun 2006 ini mengalami penurunan pendapatan sebesar 39% dibandingkan tahun lalu.

Pada saat yang bersamaan dengan penurunan pendapatan yang dialami sejumlah perusahaan penerbit surat kabar besar ini, peningkatan keuntungan luar biasa justru tengah dinikmati oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis teknologi informasi baru. Google, misalnya, membukukan kenaikan keuntungan sebesar lebih dari 90% dibandingkan tahun sebelumnya. Jelaslah bahwa ada korelasi langsung antara penurunan jumlah tiras surat kabar, dengan kehadiran Internet.

Ini juga yang kemudian memicu berbagai gelombang perubahan yang dilakukan oleh para pengelola surat kabar sebagai wujud respons terhadap perubahan perilaku konsumen tadi. Ada tiga hal utama yang kini gencar dilakukan para pengelola surat kabar. Pertama, ikut terjun dalam menyediakan informasi lewat Internet (surat kabar edisi online). Sedangkan dua yang lainnya adalah melakukan perubahan format dan menyediakan surat kabar gratis.

Indonesia tentu saja tak dapat menghindar dari fenomena penurunan tiras surat kabar yang telah menjadi isu global tadi. Salah satu hasil survei AC Nielsen (periode April-Juni 2006), menunjukkan hampir semua surat kabar di Indonesia mengalami penurunan dari segi jumlah pembaca. Beberapa surat kabar utama mengalami penurunan antara 20-44%. Situasi seperti ini pula yang telah memicu perubahan strategi sejumlah surat kabar Indonesia untuk mencoba menghindarkan diri dari keterpurukan lebih jauh.

Sejauh ini dua dari tiga strategi yang disebutkan barusan telah diterapkan oleh para pengelola surat kabar di Indonesia, yaitu menyediakan versi online di Internet, dan mengubah format. Dari dua strategi ini, perubahan format akan lebih memberikan dampak langsung yang signifikan kepada pembaca dibandingkan dengan strategi penetrasi lewat Internet. Alasannya jelas, karena penetrasi Internet di Indonesia masih sangat rendah, sehingga jumlah mereka yang mengakses informasi lewat internet masih lebih rendah dibandingkan mereka yang membaca surat kabar dalam versi cetaknya.

Sejumlah surat kabar utama Indonesia sudah melakukan langkah perubahan format, mulai dari Koran Tempo, Rakyat Merdeka, Kompas, Bisnis Indonesia, hingga Pikiran Rakyat. Sejauh ini belum ada survei komprehensif yang mencoba melihat lebih dalam apakah perubahan format ini memberikan dampak positif yang signifikan. Namun jika dilihat sepintas, agaknya hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

Ambil contoh Kompas. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-40, 28 Juni 2005, koran paling berpengaruh ini mengubah formatnya sehingga tampak lebih ringkas, baik dari segi ukuran maupun dari cara mengemas isinya. Jika merujuk hasil survei AC Nielsen yang disebut di atas, Kompas termasuk di antara surat kabar yang mengalami penurunan pembaca, meskipun dalam angka yang tidak terlampau mengkhawatirkan (kurang dari 1%).

Karena perubahan format ternyata belum tampak nyata kemujarabannya di Indonesia dalam upaya merangkul kembali pembaca yang hilang, maka pada saat yang bersamaan para pengelola surat kabar seyogianya tidak melupakan dua faktor lain yang tidak kalah pentingnya: menjaga integritas jurnalistik, serta mengupayakan secara terus-menerus peningkatan mutu jurnalistik. Inilah yang sebetulnya justru lebih merisaukan untuk konteks Indonesia.

Cukup banyak kasus yang menimpa surat kabar Indonesia berkaitan dengan kedua faktor ini, mulai dari ketidakpedulian pada etika jurnalistik, kelemahan editorial (pilihan subyek liputan, cara meliput dan cara menyajikan), hingga ke kasus-kasus yang berhubungan dengan integritas (ditunjukkan lewat kasus suap, baik terang-terangan melalui tindak pemerasan terhadap narasumber maupun lewat cara halus dengan menghalalkan praktek "jurnalisme amplop" ataupun membuka diri untuk "dibeli" oleh pihak yang berkuasa secara politik maupun finansial).

Membiarkan situasi seperti ini terus berlangsung, akan sama artinya dengan membiarkan surat kabar mati perlahan-lahan. Kematiannya bisa disebabkan dua hal: karena ditinggalkan oleh para pembaca (kondisi yang kini tengah berlangsung), atau kembali dibelenggu oleh penguasa (gejalanya sudah terasa sejak 3-4 tahun terakhir ini). Untuk hal yang disebut terakhir ini, bukan mustahil suatu ketika kelak penguasa akan "meminjam" kerisauan masyarakat terhadap sikap surat kabar yang dianggap tidak menjunjung etika, sebagai landasan pembenaran tindakan membelenggu surat kabar.

Tentu saja itu merupakan salah satu ancaman paling serius yang bisa dialami surat kabar, dan pastilah tidak dikehendaki oleh mereka yang memperjuangan demokrasi dan kemerdekaan informasi. Tidak ada cara lain pula untuk mencegah agar situasi seperti itu jangan sampai terjadi, selain melakukan langkah pembenahan diri terus-menerus khalayak pembaca perlu terus- menerus diyakinkan bahwa para pengelola surat kabar adalah orang-orang yang layak dipercaya dari segi profesionalisme dan integritas, sehingga produk yang mereka hasilkan juga akan beroleh kepercayaan yang sama. Hanya para pengelola surat kabarlah (pemilik, pengelola, wartawan) yang bisa menyelamatkan masa depan surat kabar dari kematian total yang gejala awalnya sudah tampak di berbagai penjuru dunia ini.***

Penulis, pernah bekerja sebagai wartawan Kompas (1987-1995), dan BBC di London (1995-2000). Kini penanggung jawab program-program pemberdayaan media untuk UNESCO Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Timur, dan Brunei Darussalam. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

Sumber :
Arya Gunawan,
Penanggung jawab program-program pemberdayaan media untuk UNESCO
10 November 2006
http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=9209&Itemid=59

Sumber Gambar :
http://farm1.static.flickr.com/98/234146268_2d302b0a4a.jpg

Wednesday, March 11, 2009

ONLINE SOCIAL NETWORKING SEBAGAI SALAH SATU MEDIA KAMPANYE 2009



Tahun 2009 segera tiba. Bagi Indonesia, tahun 2009 akan menjadi tahun yang penuh dengan agenda, khususnya agenda demokrasi. Setidaknya akan ada dua agenda besar pada tahun 2009, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden-Wakil Presiden. Untuk Pemilu Legislatif sendiri, KPU sudah memutuskan bahwa waktu untuk melakukan kampanye Parpol sudah dimulai pada bulan Juli 2008 ini. Agenda-agenda seperti ini tak pelak akan membuat setiap partai politik dan Capres-Cawapres untuk melakukan kampanye dengan berbagai cara, tentunya dengan cara yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Dalam melakukan kampanye, mereka akan membutuhkan media. Media kampanye bisa bermacam-macam, mulai dari yang berjenis konvensional seperti dialog, arak-arakan di jalan, selebaran, stiker, buletin, dll, hingga yang memanfaatkan teknologi seperti memanfaatkan internet. Mengaca pada model kampanye yang dilakukan oleh Capres AS, Barack Obama, media internet akan menjadi media kampanye yang diperhitungkan. Apalagi sejalan dengan agenda Pemerintah RI, dalam hal ini Depkominfo, untuk menghubungkan setiap rumah dengan akses internet. Ditambah lagi dengan agenda untuk menurunkan biaya akses internet di Indonesia. Hal tersebut merupakan prospek besar untuk setiap Parpol dan Capres.

Follow up:
Di internet, perkembangan hari ini sudah mencapai pada Web 2.0, bahkan Web 3.0. Tapi saat ini baru Web 2.0 yang sudah implementatif. Dalam situs MASTEL (Masyarakat Telematika Indonesia) telah dikatakan bahwa Internet dan Web 2.0 diramalkan akan menjadi penentu kunci kemenangan Pemilu 2009. Dengan demikian, Parpol dan Capres di Indonesia sudah selayaknya memanfaatkan internet sebagai salah satu media kampanye.

Kembali kepada teknologi Web 2.0. Salah satu akibat dari perkembangan teknologi Web 2.0 adalah munculnya berbagai situs Online Social Networking (OSN). OSN atau juga disebut sebagai Social Network Service adalah sejenis perangkat lunak berbasis web yang memungkinkan pengguna internet saling berhubungan satu sama lain. Dengan OSN ini akan terbentuk komunitas-komunitas maya, bisa berdasarkan hobi tertentu, buku bacaan tertentu, wilayah domisili, agama, parpol pilihan, tokoh idola, dsb. Dengan OSN para pengguna bisa saling berbagi informasi dengan bentuk tulisan, gambar, suara (musik), bahkan video. OSN dan Web 2.0 juga memungkinkan keterhubungan antara profil mereka di OSN dengan Blog yang sudah dimiliki oleh pengguna internet. Beberapa contoh OSN antara lain Friendster.com, Facebook.com, Multiply.com, Orkut.com, Myspace.com, Hi5.com, dll. Dalam tulisan ini saya mencoba menelaah OSN mana yang paling cocok untuk dijadikan media kampanye online bagi Parpol dan Capres di Indonesia.

Berdasarkan Google Trends

Saya mencoba melihat OSN berdasarkan Google Trends (www.google.com/trends). Dalam hal ini saya hanya mencoba 5 OSN - karena keterbatasan Google Trends - yaitu Friendster.com, Facebook.com, Multiply.com, Orkut.com, dan Myspace.com. Dengan menggunakan kata kunci "Friendster, Facebook, Multiply, Orkut, Myspace" (tanpa tanda kutip ganda), saya mendapatkan grafik perkembangan tren kelima OSN tersebut di Google. Hasilnya adalah sebagai berikut:


Secara keseluruhan, Facebook merupakan OSN yang paling menanjak tajam perkembangan tren nya, menohok Myspace yang sudah lebih dahulu tren sejak 2 tahun lalu. Tren kedua adalah Myspace. Tren ketiga dan seterusnya adalah Orkut, Friendster, dan Multiply. Yang tiga terakhir disebut, trennya jauh di bawah Facebook dan Myspace.

Tapi tren di atas adalah tren secara keseluruhan, maksudnya tren di dunia. Tren di dunia belum tentu tren di Indonesia. Oleh karena itu saya coba lihat lagi mana yang paling tren di Indonesia.

Tren di Indonesia

Jika dilihat dari lingkup Indonesia, urutan trennya adalah sebagai berikut:

Friendster menempati urutan pertama, jauh meninggalkan OSN lainnya. Multiply menempati urutan kedua. Sedangkan Facebook, Orkut, dan Myspace urutan di bawah. Yang menarik adalah Friendster yang betul-betul tren di Indonesia sejak 2004. Saya sendiri menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Friendster memang sudah "mendarah daging" di Indonesia. Di sebuah galeri internet yang dikunjungi pelajar SMP, bisa dikatakan semuanya membuka Friendster sebagai situs yang dikunjunginya. Melihat fenomena ini, pemilik Friendster sampai menyediakan Friendster berbahasa Indonesia. Berdasarkan Google Trends, Friendster banyak dikunjungi dari Jakarta, Sumatera Utara, Yogyakarta, Jateng, Jatim, dan Jabar.

Sedangkan Multiply mulai tren di Indonesia sejak 2007, tapi diawal 2008 mengalami penurunan. Multiply banyak dikunjungi dari Jakarta, Sumatera Utara, Yogyakarta, Jatim, Jabar, dan Bali. Facebook, Orkut, dan Myspace masih belum dapat perhatian dominan dari warga cyber di Indonesia. Ketiganya bisa dibilang masih sama-sama di bawah arus.

Di atas adalah tren dari pengguna internet. Namun jika dilihat dari tren pemberitaan, yang juga ada di Google Trends, Facebook dan Myspace merupakan 2 OSN yang paling banyak diberitakan media massa online. Media massa Online tentu menjadi bahan pertimbangan penting bagi Parpol dan Capres, karena pemberitaan di Media Massa Online juga bisa membuat tren baru.

Kesimpulan

Berdasarkan analisa sederhana di atas, saya coba simpulkan sebagai berikut:

1. Friendster masih merupakan OSN yang paling cocok untuk media kampanye di Indonesia jika dilihat dari tren.

2. Multiply menempati urutan kedua sebagai salah satu OSN yang patut diperhitungkan untuk sarana kampanye.

3. Facebook dan Myspace patut diperhitungkan, karena banyak diberitakan oleh media massa online ketimbang Friendster dan Multiply. Dan khusus untuk Facebook, jika berdasarkan tren tingkat internasional, Facebook layak diperhitungkan karena trennya mengalami peningkatan tajam, apalagi semenjak kampanye Capres Obama di Facebook.

4. Orkut masih belum bisa diharapkan sebagai salah satu media kampanye di Indonesia untuk sementara ini.

Saran

Ini baru sekedar analisa sederhana, hanya berdasarkan satu tools, yaitu Google Trends. Selain tren, barangkali perlu juga dilihat fungsionalitas dari OSN-OSN yang ada. Misalnya Multiply yang mungkin cocok untuk yang suka menulis dan membaca. Friendster yang mungkin cocok untuk yang sekedar mencari teman atau dukungan. Dan lain-lain. Untuk hal ini saya persilahkan yang lain menganalisanya.

Hambatan

Penggunaan OSN di atas bukan tanpa hambatan. Hambatan utama dalam hal ini adalah keterbatasan bandwidth dan masih relatif lambatnya akses internet di Indonesia. Situs-situs OSN tersebut adalah situs-situs yang cukup memakan banyak bandwidth karena jenis media yang digunakan beraneka ragam seperti video, musik, dan gambar. Selain itu semua OSN di atas secara fisik berlokasi di luar negeri, ini menambah kendala dalam hal bandwidth. Sebenarnya ada OSN dari dalam negeri namun belum begitu terkenal, antara lain temanster.com dan fupei.com. Bahkan ketika tulisan ini dipublikasikan, temanster.com tidak bisa dibuka karena sedang dalam maintenance.

Anda Pengurus Parpol atau Capres? Silakan pilih salah satu OSN di atas.

Sumber :
Hendra, 17062008
http://www.hdn.or.id/index.php/artikel/2008/online-social-networking-sebagai-salah-s-2009?blog=6&title=online-social-networking-sebagai-salah-s-2009&dis

Sumber Gambar:
http://media.economist.com/images/20080322/D1208WB1.jpg
http://zachwing.typepad.com/zach/images/2007/07/20/social_networking_sites.jpg

GLOBALISASI, MEDIA MASSA & NEO-IMPERIALISME (HEGEMONI, PROPAGANDA, ALIENASI)



“Radikal Namun Realis”

Tulisan ini akan berbicara bagaimana globalisasi sebagai salah satu fenomena yang memperanguhi hidup kita hari ini. Realitas dan fakta. Baik dalam skala global, maupun skala lokal. Dianalisis melalui pendekatan, dengan memahami globalisasi itu sendiri. Bukan dalam tataran definisi yang konvensional dan cenderung naif. Radikal namun sesuai apa yang terjadi pada tataran faktual. Dan dampak globalisasi itu sendiri terhadap kehidupan kita, khususnya sosial-budaya dengan segala muatan interaksi individu maupun kolektif.

Ada beberapa unsur yang akan dipaparkan : Globalisasi itu sendiri, kaitan antara kepentingan modal dengan media massa, hegemoni-propaganda-alienasi yang membentuk budaya massa, dan krisis identitas sebagai dampak negatif riil dari globalisasi.

Globalisasi—Imperatif Media

Globalisasi, memiliki empat imperatif yang mendorong perkembangannya, yakni : Imperatif sumber daya, imperatif teknologi informasi, imperatif ekologis, dan imperatif pasar. Analisis ini pernah diutarakan seorang Benjamin R. Barber, penulis Jihad Melawan McWorld

Tulisan ini akan fokus pada imperatif teknologi informasi, dengan instrumen utamanya media massa. Serta dampak dari yang ditimbulkannya tersebut, dalam bahasa komunikasi lazim disebut “budaya massa”. Sebuah situasi sosio-kultural dimana perilaku dan cara berpikir publik/rakyat yang pada faktanya diperanguhi –atau bahkan dibentuk- oleh media massa. Sedikit-banyaknya.

Globalisasi, dalam analogi sederhana bagai “pelipatan-pelipatan dunia menjadi sebuah kampung kecil” merupakan imbas tak terelakkan dari revolusi teknologi informasi. Sebuah perubahan radikal penyebaran pesan komunikasi dari sekedar lisan dan tulisan, ke dalam bentuk audio, visual, hingga audio visual. Dari komunikasi satu arah menjadi interaktif. Peningkatan kapasitas kecepatan dan kemampuan pesan komunikasi menembus ruang dan waktu, serta kontinyu dan dinamis.

Teori lain yang turut mendukung bahwa globalisasi tidak terelakkan, adalah revolusi transportasi. Dimana manusia mampu menembus satu ruang ke ruang lan dalam waktu sangat singkat. Misal kemajuan pesawat terbang.

Definisi paling pas menurut fakta dunia hari ini tentang globalisasi, ternyata adalah sebuah proses penyeragaman dunia dengan standar tertentu—westernisasi (lihat : Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan). Menyerang dan melibas semua batas dan ruang, seperti agama, nasionalitas, ras, dan sejarah lokal. Menciptakan krisis eksistensial di setiap ranah budaya-sosial diseluruh dunia.

Media Massa sebagai Senjata Kapitalis

Pemahaman klasik mengenai media massa –koran, majalah, radio, TV, broadcast– ialah instrumen komunikasi yang berfungsi sebagai perantara. Sebagai penengah. Dua pihak yang masing-masing berperan sebagai penyampai dan penerima pesan menggunakan media massa sebagai mediasi untuk saling berkomunikasi, bertukar pesan, lantas saling memahami isi pesan tersebut (lihat artikel : Hariawan Suhatmanto, Kapitalisasi Media dan Corporate Image).

Media massa merupakan salah satu instrumen penting dalam jalan agenda globalisasi ini. Dalam konteks masyarakat modern, merupakan intrumen dengan apa pelbagai bentuk komunikasi dilangsungkan.

Revolusi media turut membawa ilmu pengetahuan serta informasi ke seluruh dunia. Namun, hal-hal negatif seperti hiburan, gaya hidup, pornografi, dan budaya pop tak bisa dipungkiri juga mengikut dalam kasus perkembangan ini.

Pahami kutipan berikut :

Penerbitan surat kabar adalah bisnis berskala kecil yang resikonya besar (bahkan sebuah data menyebutkan bahwa sekitar 75 % surat kabar bangkrut karena persoalan finanasial). Namun demikian, ternyata banyak sekali pengusaha yang tertarik untuk berinvestasi di bidang ini.

Mengapa ? yang paling masuk akal, mereka memerlukan pula sebuah bisnis ‘idealis’. Yang syukur-syukur bisa menjadi juru bicara atas berbagai kepentingan bisnis dan politiknya.

(lihat : MR Kurnia Dkk, Meretas Jalan Menjadi Politisi Transformatif)


Satu pertanyaan kritis ialah : Mungkinkah media memberitakan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan pemilik modal yang justru merupakan darah nadi hidup media tersebut ?

Untuk lebih memahami media massa dalam definisi yang lebih radikal dan realis, pahami pula kutipan berikut :

Sementara itu, media global secara mudah, didefinisikan sebagal sistem media komersial yang telah berhasil membuat informasi sampai pada tingkatan global. Ia didominasi oleh sejumlah kecil korporasi media transnasional yang sangat kuat dan biasanya berbasis di Amerika Serikat. Ia adalah sebuah sistem yang bekerja untuk meningkatkan justifikasi bagi perlunya pasar global dan menyebarkan nilai-nilai komersial, sementara kritik jurnalisme dan budaya tidak menjadi perhitungan bagi kepentingan korporasi jangka panjang. (McChesney, R., 1997)

Akhirnya, media massa telah mengalami perluasan peran dan ruang dengan potensinya, menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan ideologi negara—dalam hal ini kapitalis neo-liberal. Sebagai alat mendapatkan legitimasi publik bagi kebijakan-kebijakan yang sebenarnya sering bertolak belakang dengan keinginan publik itu sendiri.

Publik cuma sebagai objek sekaligus subyek dimata media yang sangat mudah dimanipulasi. Tentu ini saja bukan hal yang fair, sebab bersifat satu arah. Mereka memberi stigma atau label pada publik demi melayani kepentingan elit politik. Pemaksaan label ini merupakan pemaksaan ideologi pada publik. Dan teknik bagaimana publik melihat sesuatu sesuai dengan sudut pandang keinginan elit politik.

Rakayasa Budaya Massa— Hegemoni

Jean Baudrillard menyatakan bahwa realitas masyarakat sekarang tidak direfleksikan oleh TV dan koran, namun justru masyarakat itu adalah refleksi-refleksi dari citra-citra yang disajikan oleh media. Artinya, realitas dalam media bukanlah gambaran dari masyarakat itu. Citra-citra dalam medialah yang membentuk realitas dalam masyarakat tersebut.

Simpelnya, media massa membentuk realitas kehidupan masyarakat sesuai dengan arah yang sejalan dengan ideologi kapitalis neo-lib. Bukan realitas apa adanya atau bahkan arah yang diinginkan oleh rakyat— kesejahteraan.

Rekayasa informasi global inilah yang faktanya sekarang terus berlangsung, melalui media-media massa global. Masyarakat global diberi ketidakberdayaan (disempowerment) dalam berbagai hal menghadapi hegemoni kepentingan-kepentingan barat -terutama AS- dapat terwujud. Dalam bidang ekonomi, AS berhasil mengglobalkan berbagai produk industrinya, sehingga menjadi “selera dunia” (global taste). Dalam bentuk food (makanan), fun (hiburan), fashion (pakaian), dan thought (pemikiran).(lihat: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat)

Intinya, media massa telah membentuk budaya global dalam bentuk budaya massa yanag menguntungkan kapitalis neo-lib. Membentuk logika masyarakat menjadi materialis dan cenderung kemaruk ketika berhadapan dengan iklan-iklan barat. Bahasa populernya Dunia McWorld, yang sering dilambangkan dengan McDonald, MTv, Macintosh. Filter dalam hal ini, menjadi teramat sulit dilakukan.

Ini membuat korporasi-korporasi—sebagai instrumen pelaku sistem neo-liberalisme—mendapat keuntungan ekonomis berlipat ganda. Terlihat imperatif media berkorelasi dengan imperatif pasar (ekonomi). Artinya, media menjadi mitra korporasi dalam mengeruk keuntungan yang berlipat ganda.

Beberapa ahli sepakat, bahwa hukum ekonomi telah dibalik—mereka menciptakan pasar terlebih dahulu dengan menciptakan budaya massa yang berwujud konsumerisme, sehingga saat ditawarkan produk-produk konsumen (publik) akan langsung menyerbu.

Sebab, korporasi-korporasi yang berparadigma kapitalis neo-liberal ini memfokuskan perhatiannya pada pertumbuhan ekonomi yang berujung pada produksi massal barang-jasa tanpa kontrol. Surplus barang tak terelakkan, pasar domestik pun tak bisa menghabiskan persediaan barang-jasa tersebut.

Paradigma “memasarkan barang” saja menjadi tidak cukup, mereka mulai berpikir “menciptakan pasar” dibelahan-belahan negara lain. Ini berkorelasi dengan sifat kapitalisme itu sendiri yang cuma bisa hidup di alam internasional. Disinilah letak peranan media massa, menjadi “pekerja pra-produksi”, menciptakan pasar dengan opini, informasi-informasi selektif, dan iklan. Hingga budaya massa sebagai konsumen telah siap sedia untuk menghabiskan uangnya demi menjawab tantangan “modernisme life style” tersebut.

Sebenarnya tak hanya barang dan jasa yang dipasarkan, tapi juga gagasan/ide. Kita bisa lihat, media massa penuh dengan mem-bombastis-kan kata-kata serupa demokrasi, HAM, postmodernisme, humanisme, pluralisme, liberalisme, hedonisme, d.l.l. Baik secara ekspilit maupun emplisit. Dengan dibalut analisis oleh “pakar-pakar” berparadigma neo-lib. Tentu saja tidak disertai kolom untuk mendiskusikannya secara kritis.

Tentu negara dan korporasi tak hanya merasa cukup mendapat keuntungan lewat penjualan barang dan jasa. Ide/gagasan tak kalah penting, sebab titik potensi inilah yang akan membuat rakyat tanpa sadar berpola pikir dan pola sikap sesuai sistem yang mengangkangi mereka—kapitalis neo-lib. Hingga kekuasaan ideologi tak hanya dilestarikan oleh negara-korporasi namun juga oleh publik. Ini yang kita sebut dengan hegemoni.(lihat: Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara & Hegemoni )

Propaganda Media

Propaganda dalam pengertian sesuai praktek media boneka ini ialah, bagaimana manipulasi data dan fakta, guna menggiring opini publik—hingga massa bersikap dan bertindak sejalan dengan kepentingan modal. Bahasa Giddings “persetujuan tanpa kesepakatan”, cukuplah rakyat “setuju” atas kebijakan-kebijakan pemerintahannya –kebijakan dalam persfektif neo-lib- tanpa harus “sepakat”. Arti setuju disini, ialah ketidakberdayaan dalam menolak. Sebab posisi yang amat lemah, baik untuk memahami hegemoni itu sendiri, ataupun dalam daya resistensi publik. Setuju disini berarti pula publik sebagai sekedar “partisipan” bukan ”pemain”.

Dalam sebuah negara totaliter, negara mengontrol publik dengan kekerasan dan paksaan-paksaan. Sedangkan dalam negara demokratis yang “bebas dan merdeka” negara tentu tidak bisa melakukan hal demikian, disitulah perlunya tenik propaganda.

Media massa juga menjadi senjata ampuh bagi perebutan citra (Image). Siapa yang berhasil membuat image terbaik, ia akan memenangkan legitimasi publik dalam keinginannya, ataupun sebaliknya. Itulah mengapa korporasi di era ini, tidak hanya memfokuskan pada bagaimana produksi barang dan jasanya laris manis, namun juga –lewat humas- memenangkan hati publik, seolah-olah korporasi tersebut turut “memajukan ekonomi kesejahteraan rakyat” dan “milik bersama”. Tanpa menyinggung fakta, bahwa korporasi-korporasi semacam ExxonMobile, Freeport dan sejenisnya tak lebih dari perampok harta sumber daya alam rakyat.

Kekuasaan nyata pemegang semua ini, ialah kalangan pebisnis atau pemilik modal (kapitalis). Mereka ini yang mampu merekayasa persetujuan dengan akses ke ranah politik, sumber daya yang dimilikinya, serta akses media massanya —kepadanyalah kita bekerja. Jika kita telah termakan propaganda (lihat : Noam Chomsky, Politik Kuasa Media)

Berikut beberapa teknik propaganda, yang berguna untuk memanipulasi pemikiran publik, serta menggiring opini publik agar “setuju dan searah” dengan kebijakan-kebijkan negara dan modal :

1. Menyeleksi realitas, mana yang perlu diketahui publik dan mana yang tidak boleh diketahui.
2. Jikalau pun diberitakan, biasanya terjadi “pemangkasan” dan “penyensoran” terhadap benang merah atau fakta penting yang sensitif bagi penguasa dan modal. Chomsky menyebutnya dengan format “concision”.
3. Mengalihkan perhatian publik, pada isu-isu minor (kecil). Hingga isu-isu mayor (utama) seperti distribusi kekayaan, kemiskinan, mutu pendidikan, perampokan SDA terlepas dari diskusi publik. Intinya, fakta tersebut disembunyikan dalam “diplomasi diam”.
4. Stigmatisasi negatif golongan, seperti “teroris, fundamentalis, gerombolan pengacau” yang mana intinya untuk mendikotomisasi publik dalam kelompok-kelompok. Lalu mendiskriminasi mereka yang terstigmatisasi tersebut dari mayoritas publik. Sebab kelompok ini berbahaya bagi eksistensi sistem. Publik/rakyat harus “diselamatkan” dari pengaruh mereka. Perlu diketahui pencitraan buruk Islam politik ini, merupakan satu metode “War on Terrorism”. Media salah satu pelaku utama.
5. Newspeak dalam istilah George Orwell, sebuah pencabutan makna asli dari sebuah kata. Menundukkan kata terhadap kepentingan pemakaian segolongan orang (lihat : Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional )
6. Pembiasan berita, lewat pemilihan bahasa dan cara penyampaian fakta.

Maka ada benang merah atau katakanlah kaidah fundamen dalam memahami media massa boneka ini, yaitu : Media adalah suatu “Sistem pasar terpimpin” disetir oleh profit. Dan dipandu oleh pemerintah. Yang mana kerap membuahkan hal yang sama. Informasi yang “diarahkan” agar sesuai dengan suatu agenda – secara politik maupun finansial dalam propaganda (lihat : David Cogswell, Chomsky untuk Pemula)

Krisis Identitas—Alienasi

Dalam konsep Marxisme, ada yang disebut dengan teori alienasi. Alienasi, adalah sebuah proses dimana seorang manusia dipisahkan dari dirinya sendiri dan kehidupannya. Atau katakanlah manusia tersebut merasa asing. Masa lalu manusia merasa hidup harmonis, tapi tiba-tiba terjadi keterputusan. Dan rasa asing tersebut tidak terelakkan.

Kita kaitkan dengan fakta hari ini. Umat Islam dulu hidup dalam peradaban yang maju secara ilmu dan materi. Kaya akan moralitas. Namun, tiba-tiba harus hidup dalam kenyataan sekarang dimana dunia Islam mengalami kemunduran, dekadensi moral, serta keterjajahan.

Saat kesadaran tersebut tercipta dalam seorang muslim (individu), kesadaran yang tercipta dari komparasi dulu dan sekarang. Dan mengetahui konspirasi Barat dalam menjajah dunia Islam sebagai penyebab utama. Maka, ia akan berontak dengan kembali kepada identitasnya sebagai seorang muslim. Dan menyebarkan kesadaran tersebut kepada umat (kolektif). Sehingga gerakan, organisasi, atau demonstrasi, dan lainnya akan digunakan sebagai wujud penyadaran realitas bahwa umat Islam mundur sebagai akibat hegemoni Barat dan krisis identitas.

Gerakan atau wadah perkumpulan yang memiliki “budaya tinggi dan tandingan” ini, akan menjadi tempat menuntut pengakuan identitas diri. Yang mampu mereduksi pengaruh hegemoni barat lewat globalisasinya.

Lalu, siapa yang mengakibatkan krisis identitas dan alienasi ini? Tentu saja Barat lewat globalisasinya. Faktanya banyak sekali, sering kita sebut dengan “Islam KTP”. Seorang muslim yang bersikap dan berpikir bukan dengan standar dan kriteria sebagai wujud kata “muslim” itu sendiri.

Alienasi ini sebuah taktik jitu, dimana negara kapitalis tidak harus repot melawan sebuah upaya pemberontakan. Namun langsung pada bagaimana menghilangkan identitas yang berpotensi menimbulkan pemberontakan tersebut. Dan mengasingkan publik dari kolektifitas gerakan “berbahaya” bagi sistem ini.

Analisisnya begini, media massa menjadi alat dominan dan potensial lewat globalisasi dalam menyeragamkan dunia dalam satu standar—nilai-nilai Barat. Hingga menyamarkan atau membuat krisis bagi mereka yang memiliki identitas tidak sejalan dengan nilai-nilai Barat. Difasilitasi negara dan korporasi, dengan sumber daya dan modal luar biasa, serta produksi produk budaya dalam frekuensi yang amat besar. Melibas proses kognitif dan proses sosial publik dalam melahirkan pribadi maupun kolektifitas yang memiliki identitas jelas (lihat: Rizki Saputro, Peran Media Global dalam Pembentukan Identitas Islam di Indonesia ). Konteks dunia Islam, umat kehilangan potensi generasi yang memiliki identitas Islam yang kuat.

Tidak hanya itu, alienasi ini juga berwujud dalam citra-citra penuh ”dunia impian” yang akan menjauhkan kita dari kehidupan nyata. Seperti sinetron penuh cinta dan kesenangan hidup. Padahal kehidupan nyata itu ialah : kemiskinan, kebodohan, dan keterjajahan.

Memahami Media pada Tempatnya

Konsep ideal yang kita inginkan tentang peranan media adalah sebuah instrumen dimana ia menjadi penyedia informasi yang akurat, valid dan obyektif dalam fakta. Subyektif dalam memihak kepada publik pembacanya. Media edukasi dan kontrol sosial. Serta bargaining postion yang kuat dalam menyuarakan apa yang publik inginkan terhadap pemerintahannya. Intinya, kritis serta idealis.

Namun, pada faktanya ; media justru menjadi alat hegemoni dalam mempertahankan sistem penguasa dan korporasi—dalam kasus ini sistem kapitalis neo-liberal. Nilai edukasi lebih mirip pembodohan massa. Pornografi yang merusak dianggap kebebasan pers. Budaya pop yang materialis, konsumeris, materialis justru dilestarikan. Dan publik, menjadi pihak tak berdaya dalam mengahadapi rekayasa budaya global ini.

Tentu amat keliru ketika melihat fakta ini, menghukumi media sebagai alat yang “haram”. Media sebuah media yang netral, bahkan memiliki potenis positif yang luar biasa ditangan yang benar. Propaganda dan hegemoni media disebabkan dikangkangi oleh sistem kapitalis neo-lib, sebagai salah satu instrumen dalam neo-imperialisme ini.


Keliru pula jika semua dari media itu negatif, jadi harus dilihat secara obyektif dan diletakkan secara proporsional. Dalam menganalisis media ada dua hal yang penting untuk dipegang. Pertama, logika keuntungan. Dimana media berfungsi memudahkan sekaligus melegitimasi korporasi maupun negara menjarah harta rakyat—ekonomi. Kedua, media menjadi alat hegemoni untuk melanggengkan status quo dalam berkuasa selama mungkin—politik.

Intinya, saya tidak mengkritisi komunikasi media massa, namun kepemilikan media massa yang dipakai elit kapitalis dalam menjalankan agenda neo-imperialismenya.

Impilikasi Negatif Paling Nyata

Secara ekonomis terbentuk budaya massa yang hidup dalam imaji-imaji. Imaji yang dimaksud disini, berupa materi, jabatan, penampilan fisik. Semua dihitung dengan logika untung-rugi serta hal-hal pragmatis lainnya. Budaya massa yang tak terbiasa dengan makna, spiritualisme, atau idealisme.

Kita dipaksa patuh dengan logic of capital, yakni hal-hal yang dangkal dan cepat laku. Sering pula disebut dengan instant culture. Anthony Giddens menyebutnya sebagai dunia yang berlari, dan semua yang sedang berlari satu track lebih tinggi ini memang tidak memiliki kesempatan untuk merenungkannya lebih dalam. Yang penting dalam dunia ini ialah membeli dan menjual (lihat : O. Solihin, Invasi Pemikiran dan Budaya Barat di Dunia Islam)

Tataran politik, rakyat akan selalu berada di pihak terlemah dan terbodohi, sebab informasi penting telah dimanipulasi sebelum sampai ketangan. Mereka tak punya posisi kuat melawan dari segala bentuk penindasan legal—apalagi yang ilegal—dalam menuntut kesejahteraan dalam hidup mereka.

Dan yang paling berbahaya, krisis identitas individu serta kolektif. Yang melahirkan sikap kalah, diam tanpa resistensi.

REFERENSI

Buku :
Adian Husaini, Wajah Perdaban barat, Gema Insani Press, Jakarta : 2006
David Cogswell, Chomsky Untuk Pemula, Yogyakarta, RESIST book : 2006
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, 2001
MR Kurnia, dkk, Meretas Jalan Menjadi Politisi Transformatif, Bogor, AL-Azhar Press : 2004.
Noam Chomsky, Neo-Liberalisme : Memeras Rakyat, bandung, Profetik : 2005.
______, Politik Kuasa Media, Yogyakarta, PINUS : 2006
______, Menguak Tabir Terorisme Internasional, MIZAN, 1986.
Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara & Hegemoni, Jakarta : Pustaka Pelajar : 1999.

Artikel :
Hariawan Suhatmanto, Kapitalisasi Media dan Corporate Image, www. equator. com
O. Solihin, Invasi Pemikiran dan Budaya Barat di Dunia Islam, Jurnal Al-Wa’ie, 2003.
Rizki Saputro, Peran Media Global dalam Pembentukan Identitas Islam di Indonesia, , gemapembebasan. Or.id, 2006
Pribadi, KAPITALISME, HEGEMONI, DAN INTELEKTUAL PENGKHIANAT( Sebuah Sistem ke-agen-an yang saling terkait), 2007.

Sumber :
Muhammad Syarafuddin
+ Menteri Departemen Penelitian dan Intelektual BEM fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Antasari banjarmasin
+ Pimpinan Umum Lembaga Pers mahasiswa SUKMA IAIN Antasari Bjm
+ Direktur REBEL Institute bjm
http://www.gemapembebasan.or.id/cetak.php?id=548
12 Maret 2009

Sumber Gambar :
http://www.foothilltech.org/9th-grade-action-based-project/mass-media/mass-media.jpg
http://www.conspiracytheoristclothing.com/sheep_tv.jpg

PERANAN MEDIA MASSA


Pendahuluan
Tak terbayangkan kehidupan di dunia ini tanpa sarana penyiaran berita, tanpa pelapor berita, tanpa wartawan, tanpa suratkabar, tanpa jurufoto, tanpa televisi, tanpa jurukamera, tanpa radio, dan sekarang tanpa internet. Singkatnya, tanpa keberadaan komunikasi massa, yang lebih popular dengan istilah ‘media massa’.

Bayangkan seandainya serbuan Amerika terhadap Irak, di tengah ketiadaan media massa, baru diketahui dua minggu atau sebulan kemudian dari cerita mulut ke mulut. Barangkali reaksi masyarakat internasional tidak akan sekeras yang kita lihat tempohari. Namun, karena ekseistensi media massa plus perkembangan teknologi komunikasi-informasi yang begitu pesat, hampir semua peristiwa di mana pun di dunia ini bisa tersebar luas beritanya dalam hitungan menit, kalau tidak detik.

Apa itu Media Massa
Dari segi etimologis, ‘media massa’ adalah ‘komunikasi massa’ –komunikasi massa adalah sebutan yang lumrah di kalangan akademis untuk studi ‘media massa’.
Dari segi makna, ‘media massa’ adalah alat/sarana untuk menyebar-luaskan berita, analisis, opini, komentar, materi pendidikan dan hiburan.


Peranan Media Massa
Salah satu peranan media adalah mempengaruhi sikap dan perilaku orang/public. McDevitt (1996: 270) mengatakan, “Media cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu).” Lindsey (1994: 163) berpendapat, “Media memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakata.” Sedangkan para pemikir sosial seperti Louis Wirth dan Talcott Parsons menekankan pentingnya media massa sebagai alat kontrol sosial.

Ketika menyerbu Irak pada bulan Maret 2003, salah satu unit penting yang disiapkan oleh militer Amerika Serikat adalah ‘media centre’ yang berada satu atap dengan Command and Control Centre di Qatar. Dari media centre ini, militer Amerika secara berkala memberika penjelasan tentang operasi mereka. Pemerintah Bush sadar betul bahwa unit ini, dalam banyak hal, akan membantu posisi politik mereka –baik di dalam negeri, maupun di mata dunia. Jadi, AS melancarkan perang simultan: perang piranti keras (hardware) berupa pengerahan perangkat militer, dan perang piranti lunak (software) –dalam hal ini ‘perang media massa’.

Para pemegang kekuasaan menyadari betul bahwa media massa, wartawan, jurukamera, jurufoto, perlu ‘dijadikan teman’ karena mereka memegang senjata yang jauh lebih penting dari perangkat perang yang mereka kerahkan di Irak, Afghanistan, Bosnia, dsb.
Tak sampai seminggu lalu, Presiden SBY mengundang para wartawan untuk ‘makan durian’ di satu kebun durian tak jauh dari Bogor. Apakah ini pul-kumpul omong kosong belaka? Tentu tidak. Para penasihat SBY tahu persis bahwa ‘mesin pencitraan 2009’ harus mulai bekerja sekarang dengan memanfaatkan media massa. SBY harus sudah mulai sering tampil di layar TV, terdengar di radio, terpampang di suratkabar, majalah, dsb. Sebab, pemilihan presiden 2009 ‘tidak lama lagi’.

Kemudian, kita lihat begitu banyak universitas, akademi, sekolah tinggi, pesantren, kursus-kursus, dll, yang mengiklankan diri di berbagai jenis media massa menjelang masa penerimaan mahasiswa baru. Ini semua mereka lakukan karena kesadaran bahwa media massa berperan penting untuk menjaring calon mahasiswa.
Segelintir contoh di atas terjadi karena kesadaran akan besarnya peranan media massa.

Kekuatan Media Massa
Yang paling menarik dari operasi media massa adalah dampak yang ditimbulkannya terhadap cara orang bereaksi setelah menerima berita/informasi.
Ketika seluruh dunia tahu lewat media bahwa senjata pemusnah massal dan uranium tidak ditemukan di Irak, berita ini memicu protes/demo besar di seluruh pelosok dunia. Pemerintah Bush kalang kabut menjelaskan ‘alasan lain’ untuk menyerbu Irak. Mereka cari-cari kaitan antara Saddam Hussein dan al-Qaeda atau terorisme, walaupun badan-badan intelijen mereka sendiri mengatakan tidak ada hubungan itu.

Begitu penyiksaan di penjara Abu Ghraib, Baghdad, tersiar ke seluruh dunia, Washington sangat terpojok, sangat malu. Foto-foto dan footage televisi tentang berbagai adegan penganiayaan di penjara ini yang tersiar ke seluruh dunia, yang dimulai oleh acara berita “60 Minutes II” televisi Amerika pada 28 April 2004, membuat kredibilitas AS dan para sekutunya menjadi runtuh total. Sebagian pengeritik politik luarnegeri AS mengatakan, Abu Ghraib merupakan cerminan dari sikap dan kebijakan Amerika keseluruhan yang tidak menghargai dan selalu melakukan tindak kekerasan terhadap orang Arab.

Berita penyiksaan di Guantanamo dan tidak adanya akses legal para tahanan di situ, juga memojokkan Washington. Pemerintah Bush dicela keras oleh politisi dan lembaga-lembaga HAM. Liputan media memaksa Amerika untuk berwajah lebih manis terhadap para tahanan.

Berita, analisis dan komentar tentang jumlah korban tewas tentara Amerika di Irak yang menembus angka 3,000, membuat ‘approval rate’ Presiden George W Bush turun ke tingkat terendah.

Laporan tentang kehancuran luarbiasa di Libanon akibat gempuran Israel ketika berperang dengan Hizbullah, membuat opini internasional melihat Israel bertindak berlebihan. Sebaliknya, pemberitaan perang ini membuat pemimpin Hizbullah Libanon, Hassan Nasrallah, menjadi sangat populer di kalangan rakyat Timur Tengah.

Contoh lain, Tony Blair mengalami krisis politik berkali-kali ketika berbagai skandal di tubuh pemerintahnya disiarkan oleh media massa. Menteri transportasi Stephen Byers mundur setelah berbulan-bulan menjadi bahan pemberitaan karena mempertahankan spin-doctor-nya, Jo Moore, yang menulis email pada tanggal 11 September 2001 bahwa “ini merupakan hari yang bagus untuk mengubur berita buruk tentang kondisi angkutan umum”.

Laporan media yang sangat ekstensif tentang kasus cash for honour (sumbang Partai Buruh utk dapatkan gelar kerajaan) membuat Blair dilanda krisis paling berat selama kekuasaannya.

Ratu Elizabeth terpaksa tampil di televisi untuk menyampaikan pidato istimewa untuk menghormati Putri Diana yang tewas dalam kecelakaan mobil di Paris, akhir Agustus 1997. Ratu terpaksa berpidato setelah selama berhari-hari media massa, khususnya siaran langsung televisi, menunjukkan ratusan ribu pelayat yang meletakkan karangan bunga sepanjang lebih satu kilometer mulai gerbang Kensington Palace, kediaman Lady Di.

Footage dan gambar-gambar yang menunjukkan amukan tsunami di Aceh membuat orang dari seluruh dunia memberikan sumbangan dana dalam jumlah besar. Di Inggris, langsung berdiri Disaster Emergency Committee (DEC) yang berhasil mengumpulkan dana lebih 300 juta poundsterling. Bantuan untuk Aceh datang dari mana-mana. Ini semua adalah dampak pemberitaan media massa.

Kasus bully di acara Big Brother Channel 4 membuat Jady Good terperosok jauh ke dalam Lumpur celaan, dan acara itu sendiri dikritik habis oleh berbagai pihak. Sang korban bully, Shilpa Shetti, sebaliknya menjadi terangkat dan dikejar-kejar oleh televisi untuk wawancara eksklusif (dengan bayaran besar, tentunya). Menyusul kasus ini, perdebatan mengenai rasisme pun kembali menghangat di berbagai jenis media.

Yahya Zaini akhirnya kehilangan status dan pekerjaan sebagai anggota DPR setelah footage porno-nya bersama pedangdut Eva Maria tersiar ke seluruh dunia. [Mesin pelintir Golkar berusaha mengalihkan perhatian dengan cara mempersoalkan sisi pidana dari penyebaran footage itu, namun tidak berhasil.]

Dua menteri SBY, Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin, sedang berada dalam posisi yang terpojok setelah tersiar luas kisah pencairan uang Tommy Suharto di luarnegeri dengan menggunakan rekening departemen hukum dan HAM di tahun 2004.

Banyak lagi contoh tentang dampak pemberitaan/penyiaran media massa. David Beckham menjadi ikon sepakbola dan terkenal ke seluruh dunia, terutama di kalangan anak-anak muda, karena dibesarkan oleh media (Inggeris). Koran-koran dan majalah terus-menerus mengikuti perjalanan Beckham dan isterinya. Padahal, banyak pemain bola lain yang lebih hebat dari Beckham, tetapi tidak terkenal karena tidak ada “dukungan” dari media. Sebagai dampak sampingan dari kemashuran ini, Beckham pun digunakan sebagai bintang iklan. Keterkenalan ini pula yang membuat dia dikontrak sebesar $250 juta dollar oleh klub sepakbola Galaxy di Los Angeles.

Segitiga Media-Politik-Publik
Peranan media massa lebih diperkuat oleh kemajuan pesat dalam penemuan teknologi komunikasi. Yang terjadi beberapa menit yang lalu bisa langsung dilihat rekaman gambar (footage)-nya di televisi atau situs-situs berita yang menyediakan podcats; atau foto-foto biasa di suratkabar maupun situs berita.

Begitu kuatnya peranan media massa, pada era sekarang ini para politisi di seluruh dunia menjadikan kampanye media sebagai prioritas utama dalam daftar strategi mereka. Kampanye politik (political broadcast) di televisi bisa mempengaruhi massa dalam menentukan pilihan. Dan, kalau sutradara (spin-doctor) seorang politisi mampu menangkap selera publik, serta paham betul bagaimana menampilkan sang politisi di layar TV, maka semakin besar kemungkinan masyarakat akan bereaksi positif.

Dalam posisi yang seharusnya independen, media akan ‘membantu’ masyarakat untuk memahami berbagai peristiwa, termasuk memahami peta politik dan program-program partai. Media akan menjelaskan siapa dan apa di dunia politik.

Akan tetapi, dalam batas tertentu media ‘memerlukan’ para aktor politik, ekonomi, sosial, budaya. Sebab, mereka inilah yang banyak menentukan arah kehidupan massa; merekalah yang menjadi sumber berita (news-maker). Karena itu, para presiden, perdana menteri, kepala pemerintahan, menteri keuangan, pengusaha dan perusahaan besar, tokoh masyarakat, perancang mode, para aktor/aktris, seniman, dlsb, selalu diikuti oleh media.

Selain itu, media sendiri tidak lepas dari masalah dana operasional. Suratkabar, majalah, televisi, dan radio memerlukan biaya yang cukup besar untuk menjalankan fungsinya. Media cetak dan televisi terutama, belakangan ini berubah menjadi bisnis besar. Stasiun-stasiun komersial dimiliki oleh perusahaan raksasa multinasional. Kenyataan ini memicu tuduhan bahwa media yang dikuasai pemodal besar itu beroperasi tidak dengan prinsip ‘impartial’ (tidak memihak).

Di celah-celah kepemilikan korporasi besar itu, di sana-sini masih ada media cetak dan televisi maupun radio yang berdiri netral, atau bahkan ‘memihak’ akar rumput.
Karena itulah, di kalangan media massa sekarang ini terjadi polarisasi ideologis. Yang satu disebut ‘media kanan’ dan yang lainnya ‘media kiri’.

Di Inggris, misalnya, para pemerhati mengelompokkan The Sun, Sky News (BskyB), Daily Telegraph antara lainnya sebagai ‘media kanan’, sedangkan The Guardian, The Independent, Daily Mirror sebagai ‘media kiri’.
Polarisasi ideologis ini bisa melahirkan “kolaborasi lepas” antara sejumlah media dan penguasa. Di Inggris, kelompok Rupert Murdoch menyatakan dukungan untuk Tony Blair sebelum pemilihan umum 1997 sampai sekarang. Di Amerika, beberapa saluran televisi seperti FoxNews terang-terangan memihak Presiden Bush.

Di Indonesia, banyak orang yakin bahwa sejumlah media mendukung SBY. Tetapi, fragmentasinya lebih beragam lagi. Misalnya, ada media yang mendukung partai-partai tertentu.
Polarisasi ini pada akhirnya bisa merugikan masyarakat. Sebab, kalau ada sejumlah media besar memihak penguasa, akan sulit untuk mengharapkan fungsi kontrol mereka. Publik sangat bergantung pada media massa dalam memilih informasi, meletakkannya dalam bingkai yang benar, dan kemudian memberikan analisis.

Itulah sebabnya, dalam “Segitiga Media-Politik-Publik”, posisi media akan sangat menentukan. Media milik publik (dus, bekerja untuk masyarakat), akan membuat penguasa terkontrol ketat. Sebaliknya, media yang terkooptasi oleh penguasa akan membuat masyarakat kebingungan atau keliru dalam menentukan pilihan mereka.

Anda dan Media
Salah satu tujuan Bengkel Jurnalistik ini adalah untuk mencari peluang mempromosikan gagasan, karya atau penemuan anda lewat media massa. Keinginan ini tidaklah berlebihan karena karya dan temuan anda akan lebih cepat tersebar ke masyarakat bila diterbitkan/ditayangkan oleh media.

Saya melihat ada beberapa faktor kunci untuk itu. Pertama, daya jual karya anda. Kedua, relevansi karya anda itu dengan kehidupan masyarakat luas. Ketiga, simplisitas karya tulis anda. Keempat, koneksi anda dengan orang-orang di media. Faktor keempat ini bahkan bisa melemahkan ketiga faktor lainnya.

Di Indonesia, banyak penulis yang menjadi top melalui koneksi di koran atau majalah.
Kalau karya tulis anda relevan dengan salah satu segmen di suatu media cetak dan topikal, katakanlah rubrik ekonomi, hukum, teknologi, kesehatan, agama, dsb, biasanya tidak ada hambatan untuk dipublikasikan.

Begitu anda bisa menembus sebuah penerbitan, biasanya artikel-artikel berikutnya tidak akan sulit. Dari dari sinilah seorag penulis akan membangun kredibilitasnya, dan dari sini pula seorang penulis memulai popularitasnya.
Bila ini menjadi kenyataan, maka dalam batas tertentu anda sudah bisa disebut “menguasai media massa”. Expertise anda akan mendikte media.
Selamat Berjuang!


Sumber :
Asyari Usman, Bengkel Jurnalistik
Manchester, 21 April 2007
http://bengkeljurnalistik.wordpress.com/2007/05/02/media-massa/
12 Maret 2009

Sumber Gambar:
http://www.thirdworldtraveler.com/PageMill_Images/media_monkeys.jpg