Monday, December 21, 2009

18 Pasal Jurnalisme dan Filsafat

Setelah kejadian Kompas dan Sindo yang akan menghadapi Polisi kemarin, meskipun akhirnya tidak jadi, saya mencoba buka-buka tulisan tentang jurnalisme. Dan saya menemukan tulisan ini, yakni tentang dunia jurnalisme dan filsafat. Silahkan baca, semoga bermanfaat.

18 Pasal Jurnalisme dan Filsafat

1. Setiap tahun, puluhan jurnalis di seluruh dunia menghadapi ancaman kematian di ujung pena mereka. “Jurnalisme,” tulis Ian Hargreaves dengan masygul, “bukan urusan yang mudah.” [1] Sepanjang tahun 2004, 56 orang jurnalis dibunuh setelah melakukan pekerjaan mereka, dan selama satu dasawarsa (1994-2004), jumlahnya mencapai angka 337. Jurnalisme adalah kerja yang berisiko. Tapi, tanpa risiko, bagaimana kebenaran dapat dibicarakan?

2. Jurnalisme yang baik selalu menunjukkan keterkaitan antara risiko dan kebenaran. Keterkaitan ini—yang lebih dari sekadar hubungan “struktural”, tetapi juga mengandung di dalamnya hubungan-hubungan ontologis yang lebih mendalam—juga tampak dalam filsafat. Sejarah filsafat adalah sejarah keterkaitan antara risiko dan kebenaran. Kita akan berangkat dari problem ini untuk melihat bagaimana filsafat dan jurnalisme saling terkait dan belajar satu sama lain.

3. Jika filsafat mesti berangkat dari persoalan, maka persoalannya bukan “apakah jurnalisme dapat menjadi filosofis?” (dan karenanya melahirkan sejenis genre “jurnalisme filosofis”, sebagai suplemen bagi “jurnalisme sastrawi” yang lebih dulu ada), bukan juga “bagaimana menjadikan jurnalis sebagai filsuf?”, atau “bagaimana sebaiknya seorang jurnalis berfilsafat”, namun “bagaimana menjadikan filsafat sebagai inspirasi dalam kerja jurnalisme?”, dan dengan demikian, meletakkan filsafat tidak secara konkret dan instrumental-praktis dalam kerja jurnalisme, tapi menjadikannya suatu hal yang implisit, namun berpengaruh secara aktual dalam jurnalisme itu sendiri.

4. Filsafat dan jurnalisme sesungguhnya selalu terlibat dalam hubungan yang ambigu dan terkadang antagonistik: filsafat tak pernah mengakui secara eksplisit signifikansi jurnalisme bagi dirinya. Di satu sisi, dalam salah satu fase sejarahnya, filsafat pernah menggunakan jurnalisme sebagai mediumnya. Di sisi lain, filsafat tidak menganggap serius jurnalisme, atau menilainya cukup adekuat untuk menjadi medium bagi pemikiran filosofis. Kita tahu bagaimana Voltaire di era Pencerahan, atau Diderot, menggunakan surat-surat semi-jurnalistik untuk menyampaikan kritik dan filsafat mereka. Kita juga tahu bagaimana Jean-Paul Sartre atau Albert Camus menjadi jurnalis handal di era Eksistensialisme Prancis—dan tetap dikenal sebagai filsuf. Demikian juga dengan Hannah Arendt, yang publikasi-publikasinya di New Yorker merefleksikan secara filosofis rezim fasisme Nazi; atau Walter Benjamin, yang esai-esai filosofisnya di koran-koran Jerman merefleksikan keruntuhan modernisme. Namun di sisi lain, kita juga mendengar kecurigaan para filsuf terhadap “yang-populer” (Nietzsche, Heidegger, Derrida, Foucault) dan keengganan para filsuf untuk menulis di suratkabar atau media umum lainnya.

5. Ada keyakinan di antara para filsuf bahwa, pertama, jurnalisme bukan medium yang tepat untuk berfilsafat dan mengembangkan pemikiran yang panjang. Jurnalisme mewakili apa yang disebut Plato sebagai doxa, atau dunia opini yang selalu berubah-ubah. Sementara tugas seorang filsuf adalah membongkar idea di balik doxa, jurnalisme sebagai salah satu representasi doxa berkutat pada “penampakan”, pada apa yang “tampak” atau phainomenon. Kedua, sejarah filsafat telah menunjukkan bahwa sebagian filsuf memiliki kecemasan dan fobia tertentu terhadap “tulisan”, dalam pelbagai jenisnya. Derrida pernah menunjukkan dalam studinya, bagaimana filsafat dihantui oleh sejenis ketakutan pada “grammatologi”, atau kebenaran-yang-tertulis, dan bersandar pada keyakinan tentang kebenaran-murni di luar bahasa (logosentrisme). Kedua hal ini merupakan locus di mana filsafat dan jurnalisme berkontradiksi.

6. Namun jurnalisme yang muncul secara ekstensif sejak abad ke-18 telah mengubah tatanan dunia dan cara manusia menghayati kehidupannya. Ia mengubah cara kita berkomunikasi, berinteraksi, dan berhubungan satu sama lain dan dengan demikian, mengubah secara revolusioner relasi-relasi antarmanusia ke arah hubungan yang lebih sederajat. Jurnalisme telah mengubah cara kita memandang kekuasaan dan kemapanan—sesuatu yang juga dilakukan oleh filsafat. Bukankah jurnalisme telah memicu lahirnya Revolusi Prancis, melalui tulisan-tulisan populer Voltaire zaman itu? Juga, bukankah atas jasa jurnalisme, muncul gagasan negara-bangsa yang pada gilirannya membangkitkan imajinasi kebangsaan, nasionalisme, dan kemerdekaan di berbagai negeri? [2] Radikalitas jurnalisme terletak bukan saja pada kandungannya, tetapi pada medium dan cara dia bekerja mengubah secara epistemik ketimpangan pengetahuan di antara pembacanya. Jurnalisme menciptakan kondisi di mana semua orang berhak mengetahui dan bertanya tentang keadaan. Kesetaraan semua orang untuk mendapatkan pengetahuan dan pertanyaan merupakan universalitas jurnalisme yang mempertemukannya dengan cita-cita universalitas filsafat untuk menggapai kebenaran.

7. Kini, jurnalisme tak dapat dipetakan secara hitam-putih: ia telah berkembang menjadi dunia tersendiri, dengan hukum-hukum, mekanisme, prosedur, dan cara kerjanya sendiri yang semakin otonom. Jurnalisme telah menjadi teritori dengan wilayah epistemologis-nya sendiri, dan karenanya memunculkan disiplin pengetahuan-nya sendiri. Jurnalisme telah menjadi fenomena dan bahan bagi sosiologi, politik, ekonomi, sejarah, etika, sastra, dan bahkan telah mengadopsi berbagai perkembangan teoretis kontemporer terbaru seperti semiotika. Lalu, di mana letak kontribusi filsafat bagi jurnalisme?

8. Filsafat tidak dapat memberikan kontribusi pada aspek praktis dan teknis dari jurnalisme (kecuali filsafat menjadi sejenis “etika terapan” atau “etika jurnalisme”), tetapi ia dapat memberikan sumbangan penting, tidak sebagai suatu disiplin yang terpisah, tetapi sebagai suatu perspektif dan interogasi bagi kinerja jurnalisme. Filsafat memetakan, membongkar, membedah, dan mendekonstruksi praktek jurnalisme dan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru yang radikal (secara etis, politis, epistemologis) bagi jurnalisme. Filsafat juga memungkinkan jurnalisme untuk melakukan refleksi-diri (auto-reflection) sekaligus otokritik (auto-criticism). Hal ini akan menghindarkan jurnalisme dari sekadar menjadi “mesin informasi” yang bekerja dengan regularitas dan rutinitas sehingga mudah terdeterminasi dan takluk pada kekuatan-kekuatan tertentu.

9. Apa sebenarnya hakikat kerja jurnalisme?

10. Jurnalisme, pertama-tama, terkait erat dengan apa yang diistilahkan oleh Edmund Husserl sebagai “pengalaman” yang objektif (Erfahrung): kita tahu, bahwa kerja jurnalisme dikonstitusi oleh kerja reporting,[3] yaitu melaporkan suatu hal (peristiwa, kejadian, atau figur) ke dalam suatu bentuk representasi pemberitaan tertentu. Dengan demikian, terdapat pengalaman yang ingin dihadirkan dan direpresentasikan—pengalaman itu bersifat objektif di luar sang jurnalis, namun sang jurnalis tidak diam begitu saja di depan pengalaman itu melainkan terlibat dengannya. Pelibatan ini mengubah “pengalaman” dari sekadar objektif (Erfahrung) menjadi “pengalaman” yang hidup (Erlebnise).

11. Tapi, benarkah seorang jurnalis dapat benar-benar terlibat dengan apa yang ingin direpresentasikannya?

12. Jurnalis bukan pengamat yang terpisah dari objeknya. Ia bukan seorang observer atas fenomena. Ia terlibat, dalam pengertian bahwa ia berpikir, merasakan, menghayati, dan merefleksikan peristiwa atau sosok yang ia akan hadirkan dan representasikan ke dalam suatu bentuk reporting tertentu.

13. Di sini, saya membayangkan bahwa jurnalisme merupakan sebuah “revelasi” atas fenomena (phainomenon): jurnalisme adalah seni atau teknik penulisan untuk “menyingkap” (to reveal) suatu gejala atau fenomena agar menampakkan kebenarannya. Jurnalisme adalah upaya representasi atas kebenaran yang sebelumnya tak terungkapkan, agar kebenaran itu dapat diketahui dan menjadi suatu diskursus.
Menyingkap sebuah fenomena adalah sebuah kerja radikal sebagaimana halnya kerja filsafat itu sendiri. Penyingkapan ini adalah perjuangan terus-menerus untuk membuka “kebenaran” sampai ke akar-akarnya, sampai ke hal-hal yang tak terduga di baliknya, atau yang dengan sengaja atau tak sengaja disembunyikan—sesuatu yang juga menjadi kegelisahan dari setiap refleksi filosofis.

14. Ada hal yang menarik di sini: bahwa rupanya, seperti dikatakan Heidegger, ada keterkaitan erat antara kebenaran dan kebebasan.[4] Seseorang tidak dapat mengungkapkan kebenaran kecuali ia memiliki kebebasan untuk mencari dan menemukan kebenaran tersebut. Kebebasan merupakan conditio sine qua non bagi kebenaran agar dapat terungkap; tanpa kebebasan, seorang subjek (jurnalis, dalam hal ini) tidak dapat berbicara tentang kebenaran kecuali sebagai angan-angan; dengan kata lain, untuk mengaktualkan kebenaran, kebebasan harus terlebih dulu diaktualkan.

15. Sekarang, kita mencoba berpikir negatif: dalam segala kondisi yang mungkin dibayangkan, apakah yang menjadi musuh kebebasan dan kebenaran? Musuh kebebasan dan kebenaran, bila merujuk pada refleksi Heidegger, bukan rezim yang otoriter, otoritas pengetahuan atau politis, atau institusi formal-yuridis tertentu, tetapi “penutupan” (concealment, Verbergung), “ketersembunyian” (hiddenness, Verborgenheit), “kelupaan” (forgetting, Vergessenheit), yang kemudian pada gilirannya melahirkan “ketidakbenaran” atau “kepalsuan” (untruth, falsity, pseudos). “Penutupan” berarti ketertutupan kebenaran secara sadar karena pengungkapan atas kebenaran itu dapat menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan. Sementara “penutupan” merujuk pada aktivitas sadar, “ketersembunyian” merujuk pada ketertutupan kebenaran secara tak sadar karena kemalasan atau ketidakmauan kita untuk berpikir tentangnya, dan dapat berarti juga suatu ketersembunyian kebenaran karena “kelupaan” terhadapnya, atau kelupaan yang disengaja dan tersistematisir, suatu “politik pelupaan”. Semua rentetan ini bagi Heidegger merupakan musuh kebebasan dan kebenaran.

16. Kebebasan dapat menjadi hilang dan absen di tengah masyarakat dan individu yang menutup-nutupi, tidak mengakui, menyembunyikan, merepresi, dan menekan hak-haknya atau akses terhadap hak-hak itu. Karena itu, “penutupan” dan “ketersembunyian” berlawanan dengan “idea” kebebasan. Sementara, kebebasan juga hilang jika masyarakat atau individu melupakan hak-haknya, melupakan apa yang mestinya diingat dan terus diingat, dan—yang paling parah—melupakan bahwa mereka berhak bebas. Karena itu, “kelupaan” adalah negatif bagi kebebasan; dan dengan absennya kebebasan, maka absen pula kebenaran.

17. Di sini kerja jurnalisme sejalan dengan upaya setiap refleksi filosofis yang mendalam untuk mengungkap kebenaran dengan mengafirmasi kebebasan. Di dalam jurnalisme, ada idea of truth dan idea of freedom—dan kedua idea tersebut berkorelasi dengan idea of writing: penulisan sebagai tindakan revelatif untuk menyingkap kebenaran dan mengafirmasi kebebasan dalam pengertian yang paling luas. Tindakan “revelatif” itu tentu saja tidak mungkin lahir jika sang jurnalis tidak terlibat sedalam-dalamnya dengan pengalaman yang ingin diangkatnya.

18. Apa yang dapat “diajarkan” oleh filsafat untuk jurnalisme? Pertama-tama bahwa jurnalisme bukan sekadar teknik dalam pengertian yang instrumental-teknis-pragmatis. Jurnalisme tak berurusan dengan sekadar teknik menulis yang baik, menarik, memikat, atraktif, menghibur, suatu art of entertainment sebagaimana klise terjadi saat ini (di mana informasi telah bercampur-baur dengan konsumsi dalam satu paket cepat saji “info-tainment”). Kecuali hanya akan menciptakan “kepalsuan” baru, karena memproduksi “kelupaan-kelupaan” baru, mereduksi jurnalisme pada sebentuk teknik menulis saja, juga akan memperlemah cita-cita radikal dari setiap jurnalisme yang bermutu. Sebaliknya, meski penting memperdalam aspek teknis dari jurnalisme, penting juga menggarisbawahi bahwa jurnalisme adalah suatu kerja “kemanusiaan” yang berfungsi mempertanyakan, menginterogasi, dan menyingkap realitas melalui perspektif-perspektif baru yang mungkin atau belum mungkin dibayangkan. Maka, saya membayangkan, jika Heidegger menyebut bahwa berfilsafat dan berpikir filosofis adalah thoughtful questioning,[5] mempertanyakan sesuatu dengan penuh pemikiran, dengan cermat dan hati-hati, mendalam, tak gegabah, namun interogatif dan radikal-menukik ke dalam, saya ingin menyebut jurnalisme yang bermutu sebagai thoughtful reporting, suatu kerja jurnalisme yang melaporkan, menyingkap, membuka, menyibak, dan menyidik hal-hal yang mungkin ditutup-(tutup)i, disembunyikan, dilupakan, direpresi, dan dideterminasi secara sengaja maupun tidak sengaja. Jurnalisme semacam ini akan membuka akses kepada pertanyaan publik dan ingatan publik terhadap segala bentuk “ketidakbenaran” atau “kepalsuan” tadi. Ini berarti bahwa jurnalisme terkait juga dengan idea of publicity, suatu gagasan untuk membuat kebenaran menjadi terekspos di hadapan res publica. Apakah saya tidak sedang bermimpi?***

Sumber :
Agus PW
http://politikana.com/baca/2009/11/21/jurnalisme-dan-filsafat.html
21 November 2009

No comments:

Post a Comment