Monday, December 21, 2009

Jurnalisme Warga, Teknologi, dan Bebas Nilai


Dalam kemajuan teknologi komunikasi informasi, terutama dalam konteks Indonesia dengan lalu lintas data blog terbesar untuk ukuran global sebagai salah satu dari 30 kota dunia dengan blog yang paling sibuk, ada fenomena penting yang lolos dari perhatian kita.

Kemajuan teknologi memasuki abad informasi, ada upaya kita untuk tidak bisa memisahkan batasan- batasan yang berlaku sesuai kaidah hukum, seolah-olah menulis blog, melakukan aktivitas jurnalisme warga (citizien journalism), menjadi moderator, dan aktivitas di jejaring internet lainnya tidak bisa dihukum.

Dan fenomena ini muncul dalam kehidupan kita, ketika tuduhan terhadap seseorang melakukan korupsi di salah satu situs Web dimasukkan ke mailing list Forum Pembaca Kompas menyebabkan moderator forum dipanggil sebagai saksi oleh kepolisian untuk diperiksa. Persoalan muncul ketika terjadi pertanyaan apakah moderator mailing list tidak bertanggung jawab atas materi isi yang dibahas di forum tersebut dan bebas nilai?

Sebuah situs Web sejenis jurnalisme warga menulis laporan berdasarkan pengalamannya bertemu kenalannya, menyebutkan partai politik meminta uang kepada sebuah perusahaan agar tidak kena hak angket oleh DPR yang bisa menghambat jalannya initial public offering (IPO) perusahaan itu.

Tulisan ini juga menulis nama seorang anggota DPR dari partai yang meminta uang tersebut, yang datang ke perusahaan tersebut meminta uang dalam jumlah besar mulai dari Rp 6 miliar sampai turun ke jumlah Rp 1 miliar. Semua ditulis berdasarkan penuturan kenalan penulis.

Tulisan di situs Web jurnalisme warga ini kemudian diteruskan ke mailing list Forum Pembaca Kompas, kemudian diteruskan lagi oleh salah satu anggota forum ke anggota DPR yang disebut namanya. Akibatnya, anggota DPR ini menuntut penulis tulisan yang ada di situs Web dan forum tersebut, dan pihak kepolisian menjadikan moderator forum sebagai saksi.

Pipa dua arah

Ini persoalan rumit, melibatkan banyak aspek memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi yang menghadirkan fenomena baru dan tanpa preseden sama sekali. Di sisi lain, persoalan ini menjadi ujian penting untuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)yang mengatur keseluruhan hidup dan aktivitas kita di jejaring internet.

Persoalan ini penting untuk mengukur apakah demokrasi yang kita jalankan di jejaring internet adalah bebas nilai yang semaunya mencemarkan nama baik, menuduh seseorang, atau memfitnah atas nama kebebasan berpendapat, berekspresi, dan mengemukakan kebenaran?

Setelah tergulingnya Orde Baru, demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi adalah satu persoalan dalam dua sisi sebuah koin. Sisi pertama, demokrasi dan reformasi yang menggebu-gebu memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi, serta menghadirkan empat presiden yang berbeda-beda, ternyata tidak mampu mengusir kezaliman dan kejahatan diri kita semua dalam cara berpikir dan korupsi.

Artinya, campuran demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi ternyata tidak mengubah apa-apa secara fundamental dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa, dan berinformasi. Kita memang berhasil dalam menikmati kebebasan berpendapat seenaknya, lebih enak dari negara-negara Barat sebagai kampiun kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Sisi kedua, teknologi komunikasi informasi tercampur demokrasi-reformasi, menghasilkan apa yang disebut sebagai jurnalisme warga, yang secara definisi dirumuskan sebagai memainkan peranan aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisa, serta diseminiasi berita dan informasi.

Artinya, dalam era demokrasi-reformasi berbasis informasi sekarang ini semua warga di negara kepulauan Nusantara ini adalah konsumen, semua orang adalah distributor, semua warga menjadi agregator, dan semua orang adalah produser. Menurut CEO Reuters Tom Glocer, dari kantor berita Inggris ternama dan disegani di dunia, kita hidup dalam era pipa dua arah. Glocer menajamkan pengertiannya bahwa semua orang memiliki potensi sebagai mitra dan sekaligus sebagai kompetitor.

Kekisruhan informasi

Kita memahami sedalam-dalamnya, kemajuan teknologi komunikasi informasi yang sekarang menjadi bagian kehidupan digital kita sehari-hari memang telah menghadirkan pilihan baru mengakses informasi seluas-luasnya. Jejaring internet memungkinkan semua warga negara Indonesia untuk memberikan sumbangsih kepada jurnalisme tanpa pelatihan formal.

Jurnalisme warga yang sekarang didengung-dengungkan oleh siapa saja yang memanfaatkan kemajuan jejaring internet, baik memiliki situs Web sendiri dan situs blog yang menjadi fenomena penting kemajuan internet Indonesia, berkembang begitu liar dan berdalih dilindungi oleh undang-undang pers ketika terjadi kekisruhan diseminasi informasi seperti yang terjadi dalam kasus di atas.

Yang harus dipahami, dan ini tidak tercermin dalam perkembangan jurnalisme warga di Indonesia, jurnalisme akan selalu memiliki seperangkat prinsip- prinsip, seperti memeriksa ulang sumber informasi dan memisahkan komentar dan pelaporan. Pada media massa tradisional, kaidah ini mengalami penyaringan sangat ketat dengan berbagai mekanisme news room.

Pada jurnalisme warga, yang muncul seringkali adalah one reporter journalism yang tidak bisa membedakan melaporkan berita dan menjadi berita. Akibatnya, terjadinya tuduh menuduh yang berakibat tercemarnya nama baik seseorang. Ketika menjadi persoalan hukum, bagaimana mungkin one reporter journalism berdalih dan berlindung pada hak jawab yang diatur oleh undang-undang?

Yang tidak kalah menarik adalah tulisan dimuat di situs Web dianggap sebagai kebenaran hakiki dan tidak dimiliki oleh media tradisional. Padahal, mungkin saja informasi yang sama yang ditulis pada situs Web dimiliki oleh reporter di media tradisional, tetapi disimpan di komputer karena masih mentah dan belum layak disajikan sebagai konsumsi umum.

Menjaga kepercayaan

Kemajuan jejaring internet memang telah memberikan pilihan diseminasi informasi yang berlawanan dengan arus utama yang selama beberapa dekade dikuasai oleh media tradisional, mulai dari surat kabar, radio, sampai televisi. Internet menghadirkan tidak hanya jurnalisme warga yang berupaya untuk menjadi alternatif informasi mainstream, mulai dari blog yang masuk dalam kategori user-created-content (UCC).

Sesadar-sadarnya kita memahami pilihan diseminasi informasi dengan semakin luas dan cepat akses jejaring internet, menjadi ancaman penting bagi informasi mainstream yang bekerja dalam konteks industri informasi. Namun, ini tidak berarti bahwa pilihan informasi di jaringan internet bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik yang bebas nilai dan terlepas dari jerat hukum yang berlaku.

Oh Yeong-ho, pendiri Ohmynews sebagai pelopor utama citizen journalism di dunia asal Korea Selatan, secara tegas mengakui bahwa menulis sebuah berita membutuhkan waktu yang lebih lama dari hanya sekadar memberikan sebuah komentar atau melakukan posting pada situs blog.

Dalam pencemaran nama seseorang memang tidak ada pilihan untuk dilakukan pemeriksaan, karena ”kerusakan sudah terjadi” dan harus ada yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. Sekaligus menguji dan memperbaiki berbagai undang- undang dan peraturan hukum mengantisipasi kemajuan teknologi komunikasi informasi.

Memang menjadi persoalan, apakah moderator sebuah mailing list juga ikut terlibat di mata hukum ketika terjadi kerusakan tersebut? Apakah seorang moderator bisa masuk bui karena dituduh ikut menyebarkan pencemaran nama baik hanya karena memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi?

Ketika UU ITE digelar, persoalan ini menjadi perdebatan hangat oleh siapa saja. Dan seharusnya perdebatan ini dilanjutkan untuk bisa mencapai apa yang kita sepakat satu-satunya bebas nilai itu adalah kebenaran yang hakiki. Di tengah kemajuan internet sekarang ini, informasi yang mana yang bisa dipercaya atau informasi bagaimana yang akurat? Kita tahu kalau kepercayaan pembaca itu sangat rentan sehingga perlu proses panjang untuk bisa menjaga kepercayaan itu.

Sumber :
Rene L Pattiradjawane
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/08/01250183/jurnalisme.warga.teknologi.dan.bebas.nilai
8 September 2008

Sumber Gambar:
http://www.balebengong.net/wp-content/uploads/2009/11/foto-poster-sloka-1024x680.jpg

Jurnalisme Publik

Seperti yang hampir selalu mencuat dalam episentrum perbincangan di seputar penyelenggaraan pemilu di negeri ini, wacana tentang peran pers dalam kontestasi politik selama Pemilu 2004 tampaknya kembali mengapung menjadi sebuah hot issue.Paling tidak, itulah yang terbaca dari rumusan UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu, khususnya Pasal 73 Ayat 1 dan 2.

Di dalam kedua ayat tersebut dikemukakan bahwa : (1) Media elektronik dan media cetak memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk menyampaikan tema dan materi kampanye Pemilu.(2) Media elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk memasang iklan Pemilu dalam rangka kampanye.

Secara agregatif, persoalan keadilan atas akses terhadap ruang publik media massa khususnya pers terkesan memang telah ditempatkan sebagai sebuah persoalan krusial. Boleh jadi, hal ini dapat dipahami sebagai upaya untuk menjaga posisi strategis pers sebagai medan wacana yang kondusif bagi setiap kepentingan politik tanpa terkecuali untuk memperjuangkan dan menebarkan pesona ideologisnya.

Namun, seandainya kita cermati lebih jauh lagi rumusan yang tertuang di dalam Pasal 73 di atas sebagai satu-satunya Pasal yang mengatur tentang peran pers dalam penyelenggaraan Pemilu 2004, tidak dapat diingkari munculnya kesan bahwa persoalan keadilan seolah telah dikerutkan semata-mata hanya pada lingkup relasi fungsional antara pers dengan para kontestan pemilu.

Sementara itu, relasi pers dengan masyarakat pada umumnya yang notabene juga merupakan aktor strategis pemilu boleh dikatakan telah tercecer dari perhatian regulasi ini. Dalam bingkai interpretasi yang tersirat di dalam Pasal tersebut, peran pers seolah direduksi sedemikian rupa dalam peran-peran propagandis bagi partai-partai politik yang berkompetisi.

Meminjam istilah Gripsund, pers di dalam sebuah kerangka komunikasi politik idealnya berperan sebagai buffer zone bagi terciptanya dialog triangular di antara masyarakat, negara dan organisasi sosial politik (1992 : 89). Melalui diskusi publik dengan ruang aksesibilitas yang cukup lebar ini, diharapkan kritik masyarakat terhadap public accountability (pertanggungjawaban publik) lembaga politik formal di sekitarnya memiliki kemungkinan untuk lebih terakomodasi.

Kalau kita kembalikan dalam rumusan UU Pemilu saat ini, idealisasi ini pula yang tampaknya belum tercermin di dalam Pasal 73 di atas. Namun, terlepas dari kelemahan yang terbaca dalam rumusan regulasi tersebut, jelas diharapkan bahwa idealisasi tersebut dapat menghembusi kinerja jurnalistik pers khususnya di seputar penyelenggaraan Pemilu 2004 ini.

Berkaitan dengan hal ini, mungkin ada baiknya pula bila kita menengok unikum sebuah genre jurnalisme partisipatoris yang dalam gagasan Edmund Lambert (1998:40) disebut sebagai public journalism.

Ada saat di mana awak media harus duduk sebagai audience yang dengan tekun membaca dan menyerap kebutuhan riil masyarakat dan sebaliknya ada saatnya pula masyarakat juga menjalankan peran para jurnalis yang secara aktif terlibat dalam mengartikulasikan isu-isu tematis yang relevan atau sebaliknya tidak sesuai untuk diapungkan dalam wacana pemberitaan berdasarkan orisinalitas skala kebutuhan mereka sendiri. Di dalamnya, baik pers dan masyarakat masing-masing berperan aktif sebagai sang ”subyek” yang saling melengkapi.

Kalau kita tempatkan dalam konteks pemilu, desain kinerja jurnalistik seperti ini tampaknya menjadi sebuah alternatif strategis yang cukup menjanjikan dalam menciptakan atmosfer komunikasi politik yang berkualitas.

Dalam pengandaian ini, manakala pers telah mampu bertindak sebagai medan artikulasi bagi kebutuhan, harapan dan evaluasi masyarakat, maka pada saat yang sama pers yang notabene juga menjadi media strategis bagi para kontestan pemilu, akan berperan sebagai stimulator bagi para kontenstan pemilu tersebut untuk merumuskan platform berkualitas yang akan ditawarkan dalam ruang-ruang pemberitaan pers.

Berkaitan dengan potensi yang ada di dalamnya, tidaklah mengherankan jika kemudian keberadaan public journalism selama lebih dari sepuluh tahun terakhir mulai dikembangkan di beberapa sistem politik yang berbasiskan demokrasi. Salah satu contoh menarik adalah apa yang telah dipraktikkan oleh Charlotte Observer bersama dengan afiliasi televisi lokal untuk stasiun ABC di negara bagian Carolina Utara USA selama Pemilu tahun 1992.

Pada awalnya, menjelang masa efektif kampanye pemilu untuk memilih anggota senat tersebut, kedua institusi di atas bekerja sama untuk mengadakan polling terhadap 1.000 orang warga negara mengenai persoalan kolektif yang perlu diangkat sebagai isu krusial dalam diskusi publik dengan para kandidat berdasarkan skala prioritas kebutuhan yang mereka miliki.

Pada tahap berikutnya mereka melibatkan 500 dari para responden tersebut sebagai citizens’ panel yang akan merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh para kandidat. Seluruh proses diskusi publik mulai dari hasil jajak pendapat hingga usaha para kandidat untuk memberikan jawaban atas pertanyaan para panelis tersebut menjadi prioritas yang mengisi ruang-ruang pemberitaan di kedua institusi tersebut.
Pada tingkatan ini pula keduanya sekaligus menjalankan peran mediasi bagi berlangsungnya fit and proper test yang dilakukan masyarakat terhadap kualitas platform yang ditawarkan oleh para kandidat.

Maraknya penyelenggaraan polling yang diselenggarakan oleh institusi pers di negeri ini khususnya semenjak pemilu multipartai pada tahun 1999 maupun debat ”publik” para kandidat presiden setahun terakhir sedikit banyak memang memiliki resonansi dengan praktik jurnalisme publik di atas. Namun dalam kenyataannya, elitisitas masih menjadi warna yang sangat kental dalam ruang-ruang produksi pesan yang ada.
Tentu bukan menjadi rahasia lagi jika penyelenggaraan jajak pendapat yang banyak dilakukan oleh berbagai institusi pers selama pemilu 1999 seringkali lebih banyak menjadi produk pesanan dari kepentingan politik tertentu untuk mempengaruhi opini publik.

Demikianpun kalau kita lihat bahwa liputan pers di seputar pemilu cenderung lebih banyak menampilkan konstruksi linear realitas politik sebagai komoditas jajanan yang sarat dengan ikon-ikon sensasionalitas dan bukan kontruksi dialog tentang platform partai-partai politik.

Pada titik ini, tentu sulit mengharapkan orisinalitas gagasan, harapan maupun evaluasi masyarakat terhadap para kontestan pemilu dapat terartikulasiksan dan terbaca secara lebih utuh.

Di satu sisi, memang tidak dapat diingkari bahwa ada begitu banyak kalkulasi dan pertimbangan yang harus dibuat dalam mewujudkan idealisasi public journalism di atas khususnya ketika dihadapkan pada realitas sosio kultural dalam sistem politik di negeri ini.

Namun di sisi lain, kunci utamanya terutama terletak pada pers sendiri. Berpijak pada persyaratan dan isyarat yang dipantulkan dalam genre jurnalisme yang menempatkan partisipasi publik sebagai orientasi dasarnya ini, sedikitnya dua hal yang dibutuhkan pers.

Pertama adalah political courage (keberanian politik) untuk senantiasa menjaga independensinya dari segala distorsi kepentingan politik di luar dirinya dan kedua adalah economic courage (keberanian ekonomis) untuk tidak semata-mata mengarahkan proses produksi pemberitaan di seputar pemilu semata-mata sebagai arena kontestasi berdasarkan pada kepentingan ekonomis-jangka pendek. Semoga !

Sumber :
D. Danarka Sasangka, dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0308/28/opi01.html
28 Agustus 2003

Jurnalisme investigatif dalam televisi Indonesia (Suatu analisis kritis)

Berita sebagai pusat informasi bagi masyarakat adalah suatu tontonan yang selalu dinantikan oleh pemirsanya. Pasca orde baru berita televisi semakin beragam dan informasi yang diperoleh oleh masyarakat menjadi banyak pilihan, informasi menjadi sebuah konsumsi bagi masyarakat. Segala sesuatu informasi yang dilihat dalam berita akan menjadi sebuah pembicaraan publik dan menjadi percakapan sehari – hari di masyarakat umum.

Lahirnya televisi – televisi swasta di Indonesia membuat pilihan masyarakat akan informasi semakin banyak dan luas. Para pekerja jurnalis dalam televisi menjadi semakin kreatif dalam membuat suatu berita. Karena seluruh televisi swasta yang ada di Indonesia mempunyai program berita tersendiri apabila para jurnalis tersebut tidak membuat kreatifitas maka konsep berita tv tersebut akan membosankan. Pemirsa TV saat ini semakin beragam pemikirannya dan jangkauan penyiarannya juga sudah sangat meluas, sehingga sebuah stasiun TV dalam membuat berita menggunakan teknik – teknik yang berbeda atau mempunyai ciri khas masing – masing. Apalagi Televisi saat ini sudah menjadi sebuah industri populer yang efeknya akan sangat mempengaruhi kehidupan massa hingga keranah pribadi. Menjadikan berita atau informasi akan mempengaruhi prilaku kehidupannya sehari - hari.

Sebuah informasi dari berita televisi akan tersebar begitu cepat dalam masyarakat dan untuk lebih menarik pemirsa mengikuti suatu informasi maka para jurnalis membuat suatu program berita yang dibungkus dalam model investigatif. Model berita investigatif ini merupakan bentuk informasi kepada masyarakat yang lebih mendalam, stasiun televisi yang lebih banyak menampilkan berita biasanya menampilkan berita investigatif untuk menambah penasaran kepada pemirsa TV guna mengetahui masalah yang aktual saat ini. Beberapa stasiun televisi ada yang membuatkan program khusus investigatif secara ekslusif, Stasiun – stasiun TV di Indonesia yang banyak meliput investigatif ini adalah Trans Tv, TV One, Metro TV. Sedangkan televisi seperti RCTI, SCTV, GLOBAL TV hanya mensisipi liputan investigatif dalam setiap laporan beritanya.

Liputan yang diputar dalam investigatif tersebut biasanya berupa informasi mengenai fenomena kehidupan dan politik. Format yang ditampilkannya pun sangat beragam dan cenderung dramatis.

Dalam setiap liputan investigatif yang ada dalam televisi kita, pemirsa akan diperlihatkan oleh berbagai macam gambar visual yang membawa pemirsa ikut serta dalam penyelidikan. Dengan menggunakan alat perekam kamera tersembunyi kita akan menjelajahi dunia investigatif yang membongkar rasa penasaran kita akan suatu informasi. Gambar ekslusif akan selalu menjadi tayangan yang ditunggu – tunggu oleh pemirsa. Karena dengan gambar tersebut maka fokus tontonan TV akan semakin serius dan terhayati oleh penonton dan disertai dengan suara penyiar yang membawa suasana dramatik tadi berjalan.

Namun liputan investigatif dalam televisi kita saat ini mengarah kepada kerancuan informasi atau bisa menjadi distorsi di masyarakat. Karena pesan yang ingin disampaikan oleh investigatif sangat tidak sampai dan cenderung membingungkan pemirsa, para jurnalis hanya menampilkan sisi dramatic dari gambar – gambar ekslusif tanpa melihat pesan apa yang bisa diterima oleh masyarakat. Berdasarkan hal inilah penulis akan membongkar kesalahan – kesalahan dari para jurnalis kita dalam menyampaikan investigatif dalam televisi, karena penggambaran secara dramatic tidak akan membawa kepada esensi dasar jurnalisme investigative itu sendiri. Dan ada kecenderungan permainan industry sangat mempegaruhi dalam peliputan investigative ini karena informasi yang disampaikan oleh para jurnalis memiliki efek yang besar terhadap sebuah industry kecil terutama para pekerjanya. Penulis akan menganalisis sesuai dengan pandangan kritis khususnya dengan pendekatan ekonomi politik dalam media.

A. Potret Jurnalisme Investigatif dalam Televisi di Indonesia

Dalam satu tayangan televisi ada sebuah liputan investigatif mengenai pembuatan makanan yang menggunakan formalin. Tayangan yang ditampilkan dalam televisi sangat membuat kita penasaran, dimana seorang wartawan mencoba masuk kedalam pabrik pembuatan makanan yang berformalin tersebut. Dengan menggunakan kamera tersembunyi pemirsa televisi diajak untuk mengikuti proses pembuatan makanan berformalin tersebut, kemudian secara bertahap pembuatannya dapat diikuti secara detail. Seperti menonton sebuah film kita akan dibawa dalam suasana penasaran ataupun kesal karena ternyata makanan yang kita konsumsi selama ini bisa jadi mengandung formalin. Wartawan yang meliput proses kejadian tersebut mengklaim bahwa ini merupakan sebuah investigatif akan sebuah fenomena yang terjadi dalam masyarakat dan liputan ini secara khusus dibuat eksklusif.

Gambaran investigatif yang ditampilkan dalam liputan – liputan tersebut dianggap telah menjustifikasi bahwa pemberitaan tersebut benar dan nyata. Para wartawan khusunya peliput investigatif dalam TV sering terjebak oleh dikotomi ini, karena teori mengenai investigatif yang didapat biasanya tidak sepenuhnya menggambarkan itu. Namun para jurnalis sendiri banyak yang terkejar oleh deadline berita sehingga informasi yang didapat bisa saja dijadikan bahan untuk liputannya. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam setiap laporan investigatif yang ditayangkan, sebagian besar merupakan isu – isu populer dalam masyarakat. Kasus seperti formalin mungkin sering terdengar di kalangan umum namun itu baru berupa rumor, atas dasar itu mungkin para jurnalis TV melakukan liputannya.

Laporan investigatif menjadi sebuah tayangan khusus dalam stasiun televisi swasta dengan program khusus yang diputar cukup lama. Tampilan yang dimunculkan selalu bersituasi seperti menonton sebuah sinetron, dengan alasan investigatif stasiun TV tersebut berusaha menarik kita kedalam dunia dramanya menjadika beritanya seperti fenomena sinetron. Dengan demikian menyaksikkan tayangan berita tersebut seperti alunan melowdramatik dan kedangkalan atas informasinya juga sangat kuat.

Para jurnalis secara tidak sadar akan membuat inspirasi bagi para penonton untuk melakukan tindakan apa yang dipraktekkan dalam sebuah liputan investigatif. Dan contoh yang akan dapat terjadi adalah terbentukanya industri – industri makanan baru yang menggunakan formalin tidak hanya itu polemic dalam masyarakat juga akan semakin luas karena dibuat bingung oleh informasi berita tersebut. Kecenderungan polemic yang terjadi dapat terlihat nyata ketika informasi investigatif mengenai makanan berformalin meresahkan masyarakat luas, mereka jadi takut membeli jajanan yang biasa di konsumsi masyarakat. Selain itu dampak yang lebih besar adalah hancurnya industri kecil seperti tukang bakso dan ancaman akan kehilangan pekerjaan bagi para penjual bakso keliling. Banyak dari mereka pada saat televisi secara gencar memberitakan makanan formalin tidak berhasil mencari pembeli, karena masyarakat sudah begitu banyak mengetahui informasi tersebut melalui TV. Bahkan muncul beberapa pedagang bakso yang menggunakan kalimat bebas formalin, dampak besar dari informasi investigatif ini sangat nyata terlihat dalam kasus tersebut. Lebih mengherankan lagi isu ini kemudian menjadi masalah nasional hingga pemerintah turun tangan melalui Badan Pengawasan Obat mereka melakukan penelitian – penelitian mengenai makanan berformalin. Pengamat – pengamat kesehatan kemudian bermuncunlan, secara tidak sengaja para jurnalis yang mengklaim laporannya adalah investigatif telah membawa suatu polemik yang begitu luas menyentuh banyak pihak. Tidak bisa ditutupi bahwa banyak laporan investigatif di Indonesia telah membuat sebuah masalah baru bagi masyarakat luas.

Peran pekerja jurnalis akan lebih dipertanyakan kembali dalam posisinya ketika melaporkan sebuah liputannya, karena apakah para jurnalis tersebut melakukan itu secara independen atau adanya intervensi dari beberapa pihak. Sebab dalam setiap liputannya para jurnalis memperlihatkan ilustrasi praktek suatu masalah yang ingin di investigasikan, dalam ilustrasi itu tersebut sering terlihat bahwa seorang pelaku menampilkan cara – caranya dengan terbuka meskipun wajah mereka diburamkan oleh kamera. Walaupun hal demikian tidak melanggar etika jurnalis tetapi proses yang ditampilkan tersebut terkadang sudah diskenariokan jadi keaslian pelaku dalam melakukan ilustrasi patut dipertanyakan. Dari gambaran itu maka bisa kita pertanyakan lebih dalam apakah para pekerja jurnalis tersebut telah melakukan investigatif secara mendalam? Atau sudah diskenariokan oleh suatu kepentingan?.

B. Industri Farmasi dan Industri Media

Liputan investigasi mengenai formalin menyebabkan isu meluas dalam kalangan masyarakat, terutama industry yang berhubungan dengannya seperti makanan, media dan obat – obatan. Informasi yang disampaikan dalam tayangan berita tersebut pada akhirnya membawa usaha industri kedalam polemik wacana mengenai legalitas penyebaran farmasi dalam masyarakat. Polemic yang terjadi yaitu bagaimana aturan – aturan mengenai penyebaran obat dapat dilakukan melalui suatu mekanisme undang – undang, tidak mengherankan ketika isu formalin itu di sebarluaskan melalui media para aparat hukum secara tegas melakukann razia terhadap penjualan obat yang illegal khususnya formalin. Toko – toko penjual bahan kimia dan formalin di periksa secara ketat oleh aparat serta badan pengawasan obat sibuk memeriksa makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya tersebut. Wacana mengenai penyebaran bahan formalin pun menjadi begitu besar terutama dalam media debat antara para ahli sampai kepada tanggapan masyarakat menjadi tontonan sehari – hari selama isu itu berkembang. Sedangkan industri obat terus melakukan konsolidasi dengan pemerintah untuk melegalkan suatu undang – undang mengenai peredaran obat.

Dalam era yang saat ini sudah memasuki abad kapitalistik maka cara – cara untuk mencari komoditi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Industri farmasi yang notabene sebagai sebuah perusaahan besar tentu prakteknya menggunakan cara kapitalisme. Industri dalam logika kapitalisme yaitu bagaimana produksi yang dihasilkannya dapat meraih keuntungan sebanyak – banyaknya.Termasuk dengan mengeksploitasi para pekerjanya dan faktor pendukungnya berupa uang dan waktu kerja, industri memerlukan mitra untuk memperlancar jalannya modalitas barang. Seperti halnya industri farmasi yang membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk memperlancar proses distribusinya, bentuknya bisa berupa undang – undang atau melalui media.

Dengan berkembangnya industri media yang pada khususnya dimiliki oleh individu maka proses berjalannya distribusi kapitalisme dapat mudah berjalan. Seperti dalam kasus formalin tersebut dimana industri farmasi membutuhkan media untuk menyebarkan sebuah isu agar nilai – nilai yang mereka inginkan dapat terwujud. Isu makanan formalin bisa jadi adalah sebuah wacana yang sengaja disebarkan oleh monopoli industri farmasi, karena dengan berhasilnya suatu isu yang mereka sebarkan maka persaingan dalam bidang obat – obatan akan mudah terlihat untuk kemudian dijadikan alat monopoli industri. Badan pengawas obat atau BPOM patut dipertanyakan dalam masalah ini, karena segera setelah laporan media itu ditayangkan maka secara cepat pula badan ini melakukan penelitianya. Apakah memang badan ini bekerja secara independen atau memang ada pesan – pesan yang sudah disampaikan oleh beberapa perusahaan farmasi.

Industri media dengan berbagai macam programnya yang salah satunya melalui liputan investigatif ini juga memperoleh keuntungan besar yaitu nilai rating TV akan semakin meningkat dan menjadikan program tersebut laku dijual ke beberapa sponsor. Dengan demikian proses keuntungan individu akan semakin terakumulasi kepada segelintir orang. Akan menjadi sebuah pengamatan yang nyata apabila hubungan antara industri farmasi dan media dalam kasus investigative mengenai formalin bia dihubungkan. Dan dimana posisi pekerja media yaitu wartawan, pekerja industri farmasi yaitu Apoteker, dan pedagang bakso keliling kalau dianalogikan dengan amatan diatas bisa jadi posisi mereka hanya sebagai korban dari konspirasi kapitalisme. Para pekerja media maupun farmasi akan sangat dirugikan dalam kasus tersebut karena keduanya mempunyai peran penting sebagai penentu dari jalannya sebuah ekonomi dari industry tersebut. Pekerja media akan mengalami kerugian berupa tanggung jawab dari masyarakat karena informasi yang sudah disampaikan akan merugikan banyak orang, sedangkan para pekerja farmasi akan mengalami ancaman pekerjaan apabila salah satu industri memainkan isu formalin untuk memonopoli peredaran obat di Indonesia. Dan efek yang akan paling dirasa yaitu kepada pedagang bakso keliling karena mereka menjadi korban terbesar dari konspirasi industri tersebut.

Persaingan dalam industri farmasi dalam rangka globalisasi mungkin menjadi alasan bagi pengusaha dibidang tersebut karena takut kehilangan perannya didalam negeri. Hal demikian dapat dibuktikan dalam salah satu laporan di situ berita Antara yang mengatakan “ Industri farmasi di Indonesia akan terancam dengan pemberlakukan Harmonisasi ASEAN 2008 yang membolehkan peredaran obat lintas negara asalkan memiliki kualitas dengan standar yang setara”. Berita yang tertulis tahun 2007 tersebut bisa jadi sebagai alat bukti bahwa industri farmasi di Indonesia sangat ketakutan dengan hadirnya pasar ASEAN, sehingga lontaran suatu isu dibuka untuk kemudian bernegoisasi bersama pemerintah membuat aturan. Bersamaan dengan itu industri kecil makanan yang juga memiliki pekerja mengalami kerugian sehingga memukul industri tersebut. Secara garis besar bisa gambarkan bahwa jurnalisme inverstigatif dalam televisi di Indonesia khususnya ketika membicarakan permasalahan makanan formalin tidak mengalami kemurnian atau sesuai fakta yang ada. Sebab dalam praktek jurnalisme investigatif cara pencarian data harus memakan waktu cukup lama bahkan sampai bertahun – tahun hal ini dikarenakan pencarian sumber yang cukup lama. Seperti dikatakan oleh Andreas Harsono seorang wartawan investigatif menyatakan bahwa “Sumber-sumbernya buat investigatif cukup banyak. Dengan Dokumen-dokumennya yang bertumpuk. Jelas bahwa sebuah karya investigasi tidak bisa dibuat hanya dengan mengandalkan sebuah laporan pemeriksaan polisi atau keterangan pers sebuah lembaga swadaya masyarakat. Walaupun ukuran waktu bersifat sangat nisbi, namun sebuah laporan investigasi biasanya makan waktu cukup lama. Bisa setengah tahun namun bisa juga setahun tergantung pada ukuran dan cakupan investigasi tersebut”. Ia juga secara singkat menjelaskan mengenai bagaimana laporan investigatif disampaikan yaitu “Mula-mula seorang wartawan investigator adalah wartawan yang tidak menerima mentah-mentah pernyataan sumber-sumber resmi. Seorang wartawan yang mau melakukan pekerjaan riset yang dalam, tekun merekonstruksi suatu kejahatan dan tidak kenal lelah untuk mengejar sumber-sumber yang penting, kira-kira itulah bayangan pekerjaan dalam jurnalisme investigasi”

C.Kesimpulan

Perlu menjadi renungan buat para pekerja Jurnalisme saat ini yang sedang mengalami eforia kebebasan. Karena dengan tumbuhnya industri media televisi membawa para pekerja Jurnalis mengalami sedikit dilemma karena disatu sisi mereka harus bekerja bagaimana liputannya dapat ditayangkan dan menghadapi deadline yang cukup ketat, tetapi disisi yang lain kapitalisme industri memanfaatkan mereka untuk mencari keuntungan dengan cara bermonopoli. Sehingga perlu adanya pelatihan secara mendalam mengenai teknik – teknik jurnalisme, sehingga wartawan yang telah menjadi bagian dari industri tersebut bisa memainkan perannya tanpa harus tunduk terhadap modal.

Dalam kasus jurnalisme investigatif di televisi Indonesia, para pekerja jurnalis hendaknya memahami betul penelitannya. Karena apabila liputan hanya berdasarkan fenomena dari omongan sehari – hari masyarakat maka keakuratan beritanya perlu dipertanyakan, pencarian data juga harus lengkap tidak hanya berdasarkan satu fakta saja. Tayangan dalam TV pun jangan terlalu dramatis seperti sinetron, karena ada kecenderungan gambaran yang ditampilkam hanya untuk menarik pemirsa kedalam suasana melankolis dramtik.

Dengan demikian liputan Jurnalisme Investigatif dapat menjadi referensi dalam masyarakat untuk mengkritisi kebijakkan pemerintah yang ada. Karena investigatif yang ada saat ini khususnya dalam televisi tidak mengesankan hal demikian. Tantangan bagi pekerja jurnalis untuk menjawab hal ini.

Sumber :
http://mediachannel.org/meistra/2009/08/15/jurnalisme-investigatif-dalam-televisi-indonesia-suatu-analisis-kritis/
15 Agustus 2008

18 Pasal Jurnalisme dan Filsafat

Setelah kejadian Kompas dan Sindo yang akan menghadapi Polisi kemarin, meskipun akhirnya tidak jadi, saya mencoba buka-buka tulisan tentang jurnalisme. Dan saya menemukan tulisan ini, yakni tentang dunia jurnalisme dan filsafat. Silahkan baca, semoga bermanfaat.

18 Pasal Jurnalisme dan Filsafat

1. Setiap tahun, puluhan jurnalis di seluruh dunia menghadapi ancaman kematian di ujung pena mereka. “Jurnalisme,” tulis Ian Hargreaves dengan masygul, “bukan urusan yang mudah.” [1] Sepanjang tahun 2004, 56 orang jurnalis dibunuh setelah melakukan pekerjaan mereka, dan selama satu dasawarsa (1994-2004), jumlahnya mencapai angka 337. Jurnalisme adalah kerja yang berisiko. Tapi, tanpa risiko, bagaimana kebenaran dapat dibicarakan?

2. Jurnalisme yang baik selalu menunjukkan keterkaitan antara risiko dan kebenaran. Keterkaitan ini—yang lebih dari sekadar hubungan “struktural”, tetapi juga mengandung di dalamnya hubungan-hubungan ontologis yang lebih mendalam—juga tampak dalam filsafat. Sejarah filsafat adalah sejarah keterkaitan antara risiko dan kebenaran. Kita akan berangkat dari problem ini untuk melihat bagaimana filsafat dan jurnalisme saling terkait dan belajar satu sama lain.

3. Jika filsafat mesti berangkat dari persoalan, maka persoalannya bukan “apakah jurnalisme dapat menjadi filosofis?” (dan karenanya melahirkan sejenis genre “jurnalisme filosofis”, sebagai suplemen bagi “jurnalisme sastrawi” yang lebih dulu ada), bukan juga “bagaimana menjadikan jurnalis sebagai filsuf?”, atau “bagaimana sebaiknya seorang jurnalis berfilsafat”, namun “bagaimana menjadikan filsafat sebagai inspirasi dalam kerja jurnalisme?”, dan dengan demikian, meletakkan filsafat tidak secara konkret dan instrumental-praktis dalam kerja jurnalisme, tapi menjadikannya suatu hal yang implisit, namun berpengaruh secara aktual dalam jurnalisme itu sendiri.

4. Filsafat dan jurnalisme sesungguhnya selalu terlibat dalam hubungan yang ambigu dan terkadang antagonistik: filsafat tak pernah mengakui secara eksplisit signifikansi jurnalisme bagi dirinya. Di satu sisi, dalam salah satu fase sejarahnya, filsafat pernah menggunakan jurnalisme sebagai mediumnya. Di sisi lain, filsafat tidak menganggap serius jurnalisme, atau menilainya cukup adekuat untuk menjadi medium bagi pemikiran filosofis. Kita tahu bagaimana Voltaire di era Pencerahan, atau Diderot, menggunakan surat-surat semi-jurnalistik untuk menyampaikan kritik dan filsafat mereka. Kita juga tahu bagaimana Jean-Paul Sartre atau Albert Camus menjadi jurnalis handal di era Eksistensialisme Prancis—dan tetap dikenal sebagai filsuf. Demikian juga dengan Hannah Arendt, yang publikasi-publikasinya di New Yorker merefleksikan secara filosofis rezim fasisme Nazi; atau Walter Benjamin, yang esai-esai filosofisnya di koran-koran Jerman merefleksikan keruntuhan modernisme. Namun di sisi lain, kita juga mendengar kecurigaan para filsuf terhadap “yang-populer” (Nietzsche, Heidegger, Derrida, Foucault) dan keengganan para filsuf untuk menulis di suratkabar atau media umum lainnya.

5. Ada keyakinan di antara para filsuf bahwa, pertama, jurnalisme bukan medium yang tepat untuk berfilsafat dan mengembangkan pemikiran yang panjang. Jurnalisme mewakili apa yang disebut Plato sebagai doxa, atau dunia opini yang selalu berubah-ubah. Sementara tugas seorang filsuf adalah membongkar idea di balik doxa, jurnalisme sebagai salah satu representasi doxa berkutat pada “penampakan”, pada apa yang “tampak” atau phainomenon. Kedua, sejarah filsafat telah menunjukkan bahwa sebagian filsuf memiliki kecemasan dan fobia tertentu terhadap “tulisan”, dalam pelbagai jenisnya. Derrida pernah menunjukkan dalam studinya, bagaimana filsafat dihantui oleh sejenis ketakutan pada “grammatologi”, atau kebenaran-yang-tertulis, dan bersandar pada keyakinan tentang kebenaran-murni di luar bahasa (logosentrisme). Kedua hal ini merupakan locus di mana filsafat dan jurnalisme berkontradiksi.

6. Namun jurnalisme yang muncul secara ekstensif sejak abad ke-18 telah mengubah tatanan dunia dan cara manusia menghayati kehidupannya. Ia mengubah cara kita berkomunikasi, berinteraksi, dan berhubungan satu sama lain dan dengan demikian, mengubah secara revolusioner relasi-relasi antarmanusia ke arah hubungan yang lebih sederajat. Jurnalisme telah mengubah cara kita memandang kekuasaan dan kemapanan—sesuatu yang juga dilakukan oleh filsafat. Bukankah jurnalisme telah memicu lahirnya Revolusi Prancis, melalui tulisan-tulisan populer Voltaire zaman itu? Juga, bukankah atas jasa jurnalisme, muncul gagasan negara-bangsa yang pada gilirannya membangkitkan imajinasi kebangsaan, nasionalisme, dan kemerdekaan di berbagai negeri? [2] Radikalitas jurnalisme terletak bukan saja pada kandungannya, tetapi pada medium dan cara dia bekerja mengubah secara epistemik ketimpangan pengetahuan di antara pembacanya. Jurnalisme menciptakan kondisi di mana semua orang berhak mengetahui dan bertanya tentang keadaan. Kesetaraan semua orang untuk mendapatkan pengetahuan dan pertanyaan merupakan universalitas jurnalisme yang mempertemukannya dengan cita-cita universalitas filsafat untuk menggapai kebenaran.

7. Kini, jurnalisme tak dapat dipetakan secara hitam-putih: ia telah berkembang menjadi dunia tersendiri, dengan hukum-hukum, mekanisme, prosedur, dan cara kerjanya sendiri yang semakin otonom. Jurnalisme telah menjadi teritori dengan wilayah epistemologis-nya sendiri, dan karenanya memunculkan disiplin pengetahuan-nya sendiri. Jurnalisme telah menjadi fenomena dan bahan bagi sosiologi, politik, ekonomi, sejarah, etika, sastra, dan bahkan telah mengadopsi berbagai perkembangan teoretis kontemporer terbaru seperti semiotika. Lalu, di mana letak kontribusi filsafat bagi jurnalisme?

8. Filsafat tidak dapat memberikan kontribusi pada aspek praktis dan teknis dari jurnalisme (kecuali filsafat menjadi sejenis “etika terapan” atau “etika jurnalisme”), tetapi ia dapat memberikan sumbangan penting, tidak sebagai suatu disiplin yang terpisah, tetapi sebagai suatu perspektif dan interogasi bagi kinerja jurnalisme. Filsafat memetakan, membongkar, membedah, dan mendekonstruksi praktek jurnalisme dan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru yang radikal (secara etis, politis, epistemologis) bagi jurnalisme. Filsafat juga memungkinkan jurnalisme untuk melakukan refleksi-diri (auto-reflection) sekaligus otokritik (auto-criticism). Hal ini akan menghindarkan jurnalisme dari sekadar menjadi “mesin informasi” yang bekerja dengan regularitas dan rutinitas sehingga mudah terdeterminasi dan takluk pada kekuatan-kekuatan tertentu.

9. Apa sebenarnya hakikat kerja jurnalisme?

10. Jurnalisme, pertama-tama, terkait erat dengan apa yang diistilahkan oleh Edmund Husserl sebagai “pengalaman” yang objektif (Erfahrung): kita tahu, bahwa kerja jurnalisme dikonstitusi oleh kerja reporting,[3] yaitu melaporkan suatu hal (peristiwa, kejadian, atau figur) ke dalam suatu bentuk representasi pemberitaan tertentu. Dengan demikian, terdapat pengalaman yang ingin dihadirkan dan direpresentasikan—pengalaman itu bersifat objektif di luar sang jurnalis, namun sang jurnalis tidak diam begitu saja di depan pengalaman itu melainkan terlibat dengannya. Pelibatan ini mengubah “pengalaman” dari sekadar objektif (Erfahrung) menjadi “pengalaman” yang hidup (Erlebnise).

11. Tapi, benarkah seorang jurnalis dapat benar-benar terlibat dengan apa yang ingin direpresentasikannya?

12. Jurnalis bukan pengamat yang terpisah dari objeknya. Ia bukan seorang observer atas fenomena. Ia terlibat, dalam pengertian bahwa ia berpikir, merasakan, menghayati, dan merefleksikan peristiwa atau sosok yang ia akan hadirkan dan representasikan ke dalam suatu bentuk reporting tertentu.

13. Di sini, saya membayangkan bahwa jurnalisme merupakan sebuah “revelasi” atas fenomena (phainomenon): jurnalisme adalah seni atau teknik penulisan untuk “menyingkap” (to reveal) suatu gejala atau fenomena agar menampakkan kebenarannya. Jurnalisme adalah upaya representasi atas kebenaran yang sebelumnya tak terungkapkan, agar kebenaran itu dapat diketahui dan menjadi suatu diskursus.
Menyingkap sebuah fenomena adalah sebuah kerja radikal sebagaimana halnya kerja filsafat itu sendiri. Penyingkapan ini adalah perjuangan terus-menerus untuk membuka “kebenaran” sampai ke akar-akarnya, sampai ke hal-hal yang tak terduga di baliknya, atau yang dengan sengaja atau tak sengaja disembunyikan—sesuatu yang juga menjadi kegelisahan dari setiap refleksi filosofis.

14. Ada hal yang menarik di sini: bahwa rupanya, seperti dikatakan Heidegger, ada keterkaitan erat antara kebenaran dan kebebasan.[4] Seseorang tidak dapat mengungkapkan kebenaran kecuali ia memiliki kebebasan untuk mencari dan menemukan kebenaran tersebut. Kebebasan merupakan conditio sine qua non bagi kebenaran agar dapat terungkap; tanpa kebebasan, seorang subjek (jurnalis, dalam hal ini) tidak dapat berbicara tentang kebenaran kecuali sebagai angan-angan; dengan kata lain, untuk mengaktualkan kebenaran, kebebasan harus terlebih dulu diaktualkan.

15. Sekarang, kita mencoba berpikir negatif: dalam segala kondisi yang mungkin dibayangkan, apakah yang menjadi musuh kebebasan dan kebenaran? Musuh kebebasan dan kebenaran, bila merujuk pada refleksi Heidegger, bukan rezim yang otoriter, otoritas pengetahuan atau politis, atau institusi formal-yuridis tertentu, tetapi “penutupan” (concealment, Verbergung), “ketersembunyian” (hiddenness, Verborgenheit), “kelupaan” (forgetting, Vergessenheit), yang kemudian pada gilirannya melahirkan “ketidakbenaran” atau “kepalsuan” (untruth, falsity, pseudos). “Penutupan” berarti ketertutupan kebenaran secara sadar karena pengungkapan atas kebenaran itu dapat menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan. Sementara “penutupan” merujuk pada aktivitas sadar, “ketersembunyian” merujuk pada ketertutupan kebenaran secara tak sadar karena kemalasan atau ketidakmauan kita untuk berpikir tentangnya, dan dapat berarti juga suatu ketersembunyian kebenaran karena “kelupaan” terhadapnya, atau kelupaan yang disengaja dan tersistematisir, suatu “politik pelupaan”. Semua rentetan ini bagi Heidegger merupakan musuh kebebasan dan kebenaran.

16. Kebebasan dapat menjadi hilang dan absen di tengah masyarakat dan individu yang menutup-nutupi, tidak mengakui, menyembunyikan, merepresi, dan menekan hak-haknya atau akses terhadap hak-hak itu. Karena itu, “penutupan” dan “ketersembunyian” berlawanan dengan “idea” kebebasan. Sementara, kebebasan juga hilang jika masyarakat atau individu melupakan hak-haknya, melupakan apa yang mestinya diingat dan terus diingat, dan—yang paling parah—melupakan bahwa mereka berhak bebas. Karena itu, “kelupaan” adalah negatif bagi kebebasan; dan dengan absennya kebebasan, maka absen pula kebenaran.

17. Di sini kerja jurnalisme sejalan dengan upaya setiap refleksi filosofis yang mendalam untuk mengungkap kebenaran dengan mengafirmasi kebebasan. Di dalam jurnalisme, ada idea of truth dan idea of freedom—dan kedua idea tersebut berkorelasi dengan idea of writing: penulisan sebagai tindakan revelatif untuk menyingkap kebenaran dan mengafirmasi kebebasan dalam pengertian yang paling luas. Tindakan “revelatif” itu tentu saja tidak mungkin lahir jika sang jurnalis tidak terlibat sedalam-dalamnya dengan pengalaman yang ingin diangkatnya.

18. Apa yang dapat “diajarkan” oleh filsafat untuk jurnalisme? Pertama-tama bahwa jurnalisme bukan sekadar teknik dalam pengertian yang instrumental-teknis-pragmatis. Jurnalisme tak berurusan dengan sekadar teknik menulis yang baik, menarik, memikat, atraktif, menghibur, suatu art of entertainment sebagaimana klise terjadi saat ini (di mana informasi telah bercampur-baur dengan konsumsi dalam satu paket cepat saji “info-tainment”). Kecuali hanya akan menciptakan “kepalsuan” baru, karena memproduksi “kelupaan-kelupaan” baru, mereduksi jurnalisme pada sebentuk teknik menulis saja, juga akan memperlemah cita-cita radikal dari setiap jurnalisme yang bermutu. Sebaliknya, meski penting memperdalam aspek teknis dari jurnalisme, penting juga menggarisbawahi bahwa jurnalisme adalah suatu kerja “kemanusiaan” yang berfungsi mempertanyakan, menginterogasi, dan menyingkap realitas melalui perspektif-perspektif baru yang mungkin atau belum mungkin dibayangkan. Maka, saya membayangkan, jika Heidegger menyebut bahwa berfilsafat dan berpikir filosofis adalah thoughtful questioning,[5] mempertanyakan sesuatu dengan penuh pemikiran, dengan cermat dan hati-hati, mendalam, tak gegabah, namun interogatif dan radikal-menukik ke dalam, saya ingin menyebut jurnalisme yang bermutu sebagai thoughtful reporting, suatu kerja jurnalisme yang melaporkan, menyingkap, membuka, menyibak, dan menyidik hal-hal yang mungkin ditutup-(tutup)i, disembunyikan, dilupakan, direpresi, dan dideterminasi secara sengaja maupun tidak sengaja. Jurnalisme semacam ini akan membuka akses kepada pertanyaan publik dan ingatan publik terhadap segala bentuk “ketidakbenaran” atau “kepalsuan” tadi. Ini berarti bahwa jurnalisme terkait juga dengan idea of publicity, suatu gagasan untuk membuat kebenaran menjadi terekspos di hadapan res publica. Apakah saya tidak sedang bermimpi?***

Sumber :
Agus PW
http://politikana.com/baca/2009/11/21/jurnalisme-dan-filsafat.html
21 November 2009

Google Wave dan Jurnalisme Baru

Sekelompok orang pengembang dan pengguna situs web menemukan sesuatu yang baru: Google Wave. Inilah perkembangan penting untuk mengakhiri jalur satu arah dalam dunia internet, terutama situs web.

Siapa saja sekarang bisa campur tangan dalam isi situs web tertentu.

Berikut sebuah contoh dari praktek. Pemerintah memutuskan bahwa di dalam paspor Belanda juga harus dimuat sidik jari pemiliknya. Tidak semua konsulat Belanda di luar negeri bisa mengeluarkan paspor yang memuat sidik jari itu. Orang Belanda marah-marah.

Langsung bereaksi
Situs Ranesi Radio Nederland mengumumkan beberapa artikel, dan pembaca bisa bereaksi. Beberapa bulan kemudian, artikel yang bersangkutan sudah sulit ditemukan dan reaksinya tetap yang itu-itu saja. "Google Wave menyimpan informasi yang tidak berkaitan itu dalam satu dokumen dan itu lebih cepat dan lebih bisa dilihat dalam satu forum, rubrik chat atau reaksi," demikian Richard Osinga, pengembang situs web pada perusahaan Oberon Interactive di Amsterdam. "Google Wave adalah cara publikasi baru. Seseorang bisa membangun situs mini baru tentang topik tertentu," kata Henk van Ess, seorang wartawan peneliti dan pelatih internet.

Van Ess dan Osinga termasuk sedikit kalangan yang sejak Mei lalu menguji Google Wave sambil mengembangkan penerapannya. "Perubahan terpenting dalam Google Wave adalah bahwa sebuah dokumen tidak lagi berada dalam satu komputer, tetapi dalam server tertentu. Karena itu dokumennya bisa dibuka oleh siapa saja yang sibuk dengannya. Mereka tidak perlu saling mengirim perubahan, tetapi bisa langsung mengolah dokumen yang ada dalam browser manapun," demikian Richard Osinga. "Orang bisa sangat menghemat waktu, kalau pada saat yang sama bisa menggarap artikel tertentu, tanpa harus rapat dahulu," tambah Henk van Ess.

Jurnalisme baru
Osinga berharap bahwa Google Wave pada awalnya akan digunakan untuk dokumen dan pembelian bersama melalui situs web. Perusahaannya mengembangkan sebuah aplikasi sehingga beberapa orang secara serempak bisa berunding dalam situs penjual, seperti Marktplaaats, tentang pembelian satu barang tertentu. Tetapi masih banyak penerapan lain katimbang hanya untuk berdagang lewat internet. "Pada akhirnya akan timbul jurnalisme baru," begitu ramalan Richard.

Kembali ke praktek. Situs Radio Nerland mengundang beberapa pakar dan orang Belanda di luar negeri untuk ambil bagian dalam Wave tentang masalah paspor baru. Pembaca biasa bisa mengikuti diskusi mereka pada saat itu juga. Termasuk salah eja yang mungkin muncul. Tak lama kemudian dokumen itu akan masuk arsip situs Radio Nederland. Campur tangan redaksi masih tetap diperlukan supaya tulisan itu bisa dibaca orang lain. Jurnalis yang bersangkutan merangkum dan menghilangkan topik-topik yang tidak perlu serta omong kosong lainnya.

"Diharapkan pakar bersangkutan bersedia terus ikut membaca dan memberi tanggapan," ujar pelatih internet Henk van Ess. Tapi baginya sejumlah Waves yang bagus sama seperti karya jurnalisme yang baik.

Playback
Rangkuman itu dapat diperiksa kembali berkat apa yang disebut fungsi playback. Fungsi itu memaparkan perkembangan sebuah artikel: siapa pembuat Wave, bagaimana perkembangannya dan kesimpulan apa saja yang muncul daripadanya. "Terutama kalau berita berkembang cepat, playback merupakan fungsi penting," kata Osinga. "Kesimpulan bisa berbeda dari titik tolaknya. Kecelakaan ternyata sebuah serangan."

Lebih dari sekedar teks
Wave menawarkan lebih dari sekedar teks saja. Peserta bisa menambahkan film, foto, peta dan bahkan jajak pendapat, ujar Richard Osinga penuh semangat. "Sumatra Barat dilanda gempa bumi. Radio Nederland membuat Wave tentangnya. Koresponden membuat film. Warga setempat memasang foto rumah mereka yang hancur. Seorang pakar gempa menjelaskan penyebabnya." Dan jika di tengah diskusi itu, gelombang pasang melanda pulau tersebut, maka akan ditambahkan tanggapan pakar tsunami.

Memang ini akan merupakan tantangan bagi para wartawan. Bisa saja seorang peserta, sementara diamati banyak orang, menulis bahwa seorang penanggap menulis omong kosong. Tapi justru itulah yang bisa menghasilkan hubungan baik antara wartawan dan non-wartawan, menurut Henk van Ess.

Wavekan artikel ini
Tapi terlalu banyak peserta juga tidak baik. "Wave yang terbuka untuk umum, siapa saja bisa ikut, lambat laun ini bisa menjadi semacam chatbox. Itu tidak menarik," ujar Richard Osinga. "Akan makan terlalu banyak waktu untuk membaca begitu banyak penyesuaian." Dan untuk chat tersedia sarana-sarana lain. Henk van Ess menghadapi masalah serupa. Menurutnya peserta harus diberi status. "Pakar diberi status lebih tinggi ketimbang orang yang tidak memberi nilai tambahan."

Google berharap, mulai tahun depan bisa membuka Wave untuk kalangan luas. Van Ess berharap Wave akan tersedia bagi publik sama lengkapnya seperti bagi kelompok penguji. Di masa mendatang, setiap orang bisa membuat Wave. Emailkan artikel ini nanti akan berubah menjadi Wavekan artikel ini. "Di mana-mana terciptalah dokumen-dokumen hidup tentang sebuah naskah yang ditulis oleh seseorang," ujar Osinga.

Sumber :
Willemien Groot
http://www.rnw.nl/id/bahasa-indonesia/article/google-wave-dan-jurnalisme-baru
12 Oktober 2009

Jurnalisme

Jurnalisme adalah bidang disiplin dalam mengumpulkan, memastikan, melaporkan, dan menganalisis informasi yang dikumpulkan mengenai kejadian sekarang, termasuk tren, masalah, dan tokoh. Orang yang mempraktekkan kegiatan jurnalistik disebut jurnalis atau wartawan.

Di Indonesia, istilah ini dulu dikenal dengan publisistik. Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda asalnya. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan jurnalistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi.

Jurnalisme dapat dikatakan “coretan pertama dalam sejarah”. Meskipun berita seringkali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi biasanya disunting sebelum diterbitkan.

Jurnalis seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala melibatkan konfidensialitas. Banyak pemerintahan Barat menjamin kebebasan dalam pers.

Aktivitas utama dalam jurnalisme adalah pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau trend. Jurnalisme meliputi beberapa media: koran, televisi, radio, majalah dan internet sebagai pendatang baru.

Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.

Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.

Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.

Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.

Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.

Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.

Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Jurnalisme