Tuesday, March 17, 2009

MENYELAMATKAN SURAT KABAR


BELUM lama ini "perang surat kabar" berlangsung di London. "Perang" ini berkaitan dengan diluncurkannya, dalam waktu yang tak terpaut jauh, dua surat kabar baru yang diberikan secara gratis kepada para pembaca. Yang pertama adalah Lite, diterbitkan oleh perusahaan Associated Newspapers, diluncurkan di pekan terakhir Agutus. Yang kedua adalah thelondonpaper, diterbitkan oleh perusahaan News International milik "raja media" Rupert Murdoch, diluncurkan di pekan pertama September. Peluncuran surat kabar yang disebut terakhir ini bahkan dipercepat dua pekan dari jadwal semula karena ingin segera hadir di tangan pembaca.

"Perang" yang sengit tak terhindarkan karena kedua surat kabar baru ini sama-sama beredar di sore hari, diterbitkan dengan jumlah tiras sama-sama 400 ribu. Masing-masing surat kabar menggunakan pengedar perorangan yang berbeda. Mereka membagi-bagikan surat kabar tersebut di sejumlah lokasi yang dianggap strategis.

Kehadiran dua pendatang baru ini menambah jumlah surat kabar gratis yang beredar di London, sehingga total menjadi empat. Dua lainnya sudah beredar beberapa waktu sebelumnya, yakni Metro (penerbitnya sama dengan penerbit Lite), dan City AM yang lebih memfokuskan diri pada berita-berita keuangan. Metro dan City AM beredar di pagi hari, dengan target pembaca para pekerja komuter yang tengah berangkat menuju kantor. London bukan satu-satunya ajang perang sengit surat kabar gratis di benua Eropa. Ibukota Denmark, Copenhagen, juga mengalami hal yang sama. Sepanjang September - Oktober 2006, setidaknya tiga lagi surat kabar gratis baru diluncurkan (masing-masing adalah Dato, 24timer, dan metroXpress edisi sore) oleh perusahaan media yang berbeda. Sebelumnya sudah ada dua surat kabar gratis, masing-masing Urban dan metroXpress edisi pagi). Untuk sebuah kota seukuran Copenhagen dengan jumlah penduduk sekitar satu juta orang, agak sulit membayangkan bagaimana kelima surat kabar gratis ini bisa bertahan, hanya dengan mengandalkan "kue" iklan yang sudah pasti akan diperebutkan dengan seru.

Tentu sangat beralasan apabila seorang konsultan media asal Denmark, Per Osterlund, yang berkunjung ke Indonesia di pekan pertama November ini mengatakan, persaingan surat kabar gratis di negerinya itu akan berlangsung bagai sebuah perang yang habis-habisan. Masih kabar dari Denmark. Sebuah surat kabar harian nasional bernama Politiken mengubah format dan tampilannya, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-222 pada tanggal 1 Oktober lalu. Dengan format barunya ini, Politiken menyajikan berita-berita dalam kemasan yang ringkas, namun sejumlah berita yang dinilai penting dipaparkan dengan lebih mendalam. Dengan kata lain, Politiken menyediakan lebih banyak analisis, komentar dan informasi-latar belakang. Mereka menamakan format baru berita-berita mereka sebagai "berita yang merangsang pemikiran", dan bukan "berita-berita cepat".

Sejumlah ilustrasi yang disampaikan di atas dimaksudkan untuk memperlihatkan tengah terjadi gelombang perubahan besar di dunia industri surat kabar. Perilaku masyarakat mengkonsumsi informasi yang disajikan oleh surat kabar telah mengalami perubahan selama lebih dari satu dekade terakhir ini. Salah satu penyebab utama perubahan perilaku ini adalah kehadiran internet, yang memiliki kemampuan untuk menyediakan informasi secara cepat, ringkas, dan relatif mudah didapat oleh mereka yang memiliki akses Internet.

Hampir semua riset menyimpulkan bahwa Internet memang telah berdampak signifikan terhadap bukan saja dalam hal cara orang mengkonsumsi surat kabar, bahkan lebih jauh dari itu, yaitu menggerogoti jumlah tiras surat kabar yang kini menjadi fenomena yang menimpa seluruh penjuru dunia.

Data Asosiasi Penerbit Surat kabar Sedunia (World Association of Newspapers, bermarkas di Paris), untuk kurun waktu 1995-2003, misalnya, menunjukkan jumlah total tiras surat kabar mengalami penyusutan sebesar 2% di Jepang, 3% di Eropa, dan 5% di Amerika. Dengan kondisi yang serba suram ini, tidak mengherankan apabila terjadi juga penyusutan pendapatan. Perusahaan penerbit salah satu surat kabar paling berpengaruh di dunia, The New York Times, tahun 2006 ini mengalami penurunan pendapatan sebesar 39% dibandingkan tahun lalu.

Pada saat yang bersamaan dengan penurunan pendapatan yang dialami sejumlah perusahaan penerbit surat kabar besar ini, peningkatan keuntungan luar biasa justru tengah dinikmati oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis teknologi informasi baru. Google, misalnya, membukukan kenaikan keuntungan sebesar lebih dari 90% dibandingkan tahun sebelumnya. Jelaslah bahwa ada korelasi langsung antara penurunan jumlah tiras surat kabar, dengan kehadiran Internet.

Ini juga yang kemudian memicu berbagai gelombang perubahan yang dilakukan oleh para pengelola surat kabar sebagai wujud respons terhadap perubahan perilaku konsumen tadi. Ada tiga hal utama yang kini gencar dilakukan para pengelola surat kabar. Pertama, ikut terjun dalam menyediakan informasi lewat Internet (surat kabar edisi online). Sedangkan dua yang lainnya adalah melakukan perubahan format dan menyediakan surat kabar gratis.

Indonesia tentu saja tak dapat menghindar dari fenomena penurunan tiras surat kabar yang telah menjadi isu global tadi. Salah satu hasil survei AC Nielsen (periode April-Juni 2006), menunjukkan hampir semua surat kabar di Indonesia mengalami penurunan dari segi jumlah pembaca. Beberapa surat kabar utama mengalami penurunan antara 20-44%. Situasi seperti ini pula yang telah memicu perubahan strategi sejumlah surat kabar Indonesia untuk mencoba menghindarkan diri dari keterpurukan lebih jauh.

Sejauh ini dua dari tiga strategi yang disebutkan barusan telah diterapkan oleh para pengelola surat kabar di Indonesia, yaitu menyediakan versi online di Internet, dan mengubah format. Dari dua strategi ini, perubahan format akan lebih memberikan dampak langsung yang signifikan kepada pembaca dibandingkan dengan strategi penetrasi lewat Internet. Alasannya jelas, karena penetrasi Internet di Indonesia masih sangat rendah, sehingga jumlah mereka yang mengakses informasi lewat internet masih lebih rendah dibandingkan mereka yang membaca surat kabar dalam versi cetaknya.

Sejumlah surat kabar utama Indonesia sudah melakukan langkah perubahan format, mulai dari Koran Tempo, Rakyat Merdeka, Kompas, Bisnis Indonesia, hingga Pikiran Rakyat. Sejauh ini belum ada survei komprehensif yang mencoba melihat lebih dalam apakah perubahan format ini memberikan dampak positif yang signifikan. Namun jika dilihat sepintas, agaknya hasilnya tidak seperti yang diharapkan.

Ambil contoh Kompas. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-40, 28 Juni 2005, koran paling berpengaruh ini mengubah formatnya sehingga tampak lebih ringkas, baik dari segi ukuran maupun dari cara mengemas isinya. Jika merujuk hasil survei AC Nielsen yang disebut di atas, Kompas termasuk di antara surat kabar yang mengalami penurunan pembaca, meskipun dalam angka yang tidak terlampau mengkhawatirkan (kurang dari 1%).

Karena perubahan format ternyata belum tampak nyata kemujarabannya di Indonesia dalam upaya merangkul kembali pembaca yang hilang, maka pada saat yang bersamaan para pengelola surat kabar seyogianya tidak melupakan dua faktor lain yang tidak kalah pentingnya: menjaga integritas jurnalistik, serta mengupayakan secara terus-menerus peningkatan mutu jurnalistik. Inilah yang sebetulnya justru lebih merisaukan untuk konteks Indonesia.

Cukup banyak kasus yang menimpa surat kabar Indonesia berkaitan dengan kedua faktor ini, mulai dari ketidakpedulian pada etika jurnalistik, kelemahan editorial (pilihan subyek liputan, cara meliput dan cara menyajikan), hingga ke kasus-kasus yang berhubungan dengan integritas (ditunjukkan lewat kasus suap, baik terang-terangan melalui tindak pemerasan terhadap narasumber maupun lewat cara halus dengan menghalalkan praktek "jurnalisme amplop" ataupun membuka diri untuk "dibeli" oleh pihak yang berkuasa secara politik maupun finansial).

Membiarkan situasi seperti ini terus berlangsung, akan sama artinya dengan membiarkan surat kabar mati perlahan-lahan. Kematiannya bisa disebabkan dua hal: karena ditinggalkan oleh para pembaca (kondisi yang kini tengah berlangsung), atau kembali dibelenggu oleh penguasa (gejalanya sudah terasa sejak 3-4 tahun terakhir ini). Untuk hal yang disebut terakhir ini, bukan mustahil suatu ketika kelak penguasa akan "meminjam" kerisauan masyarakat terhadap sikap surat kabar yang dianggap tidak menjunjung etika, sebagai landasan pembenaran tindakan membelenggu surat kabar.

Tentu saja itu merupakan salah satu ancaman paling serius yang bisa dialami surat kabar, dan pastilah tidak dikehendaki oleh mereka yang memperjuangan demokrasi dan kemerdekaan informasi. Tidak ada cara lain pula untuk mencegah agar situasi seperti itu jangan sampai terjadi, selain melakukan langkah pembenahan diri terus-menerus khalayak pembaca perlu terus- menerus diyakinkan bahwa para pengelola surat kabar adalah orang-orang yang layak dipercaya dari segi profesionalisme dan integritas, sehingga produk yang mereka hasilkan juga akan beroleh kepercayaan yang sama. Hanya para pengelola surat kabarlah (pemilik, pengelola, wartawan) yang bisa menyelamatkan masa depan surat kabar dari kematian total yang gejala awalnya sudah tampak di berbagai penjuru dunia ini.***

Penulis, pernah bekerja sebagai wartawan Kompas (1987-1995), dan BBC di London (1995-2000). Kini penanggung jawab program-program pemberdayaan media untuk UNESCO Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Timur, dan Brunei Darussalam. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

Sumber :
Arya Gunawan,
Penanggung jawab program-program pemberdayaan media untuk UNESCO
10 November 2006
http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=9209&Itemid=59

Sumber Gambar :
http://farm1.static.flickr.com/98/234146268_2d302b0a4a.jpg

No comments:

Post a Comment