Wednesday, March 11, 2009

GLOBALISASI, MEDIA MASSA & NEO-IMPERIALISME (HEGEMONI, PROPAGANDA, ALIENASI)



“Radikal Namun Realis”

Tulisan ini akan berbicara bagaimana globalisasi sebagai salah satu fenomena yang memperanguhi hidup kita hari ini. Realitas dan fakta. Baik dalam skala global, maupun skala lokal. Dianalisis melalui pendekatan, dengan memahami globalisasi itu sendiri. Bukan dalam tataran definisi yang konvensional dan cenderung naif. Radikal namun sesuai apa yang terjadi pada tataran faktual. Dan dampak globalisasi itu sendiri terhadap kehidupan kita, khususnya sosial-budaya dengan segala muatan interaksi individu maupun kolektif.

Ada beberapa unsur yang akan dipaparkan : Globalisasi itu sendiri, kaitan antara kepentingan modal dengan media massa, hegemoni-propaganda-alienasi yang membentuk budaya massa, dan krisis identitas sebagai dampak negatif riil dari globalisasi.

Globalisasi—Imperatif Media

Globalisasi, memiliki empat imperatif yang mendorong perkembangannya, yakni : Imperatif sumber daya, imperatif teknologi informasi, imperatif ekologis, dan imperatif pasar. Analisis ini pernah diutarakan seorang Benjamin R. Barber, penulis Jihad Melawan McWorld

Tulisan ini akan fokus pada imperatif teknologi informasi, dengan instrumen utamanya media massa. Serta dampak dari yang ditimbulkannya tersebut, dalam bahasa komunikasi lazim disebut “budaya massa”. Sebuah situasi sosio-kultural dimana perilaku dan cara berpikir publik/rakyat yang pada faktanya diperanguhi –atau bahkan dibentuk- oleh media massa. Sedikit-banyaknya.

Globalisasi, dalam analogi sederhana bagai “pelipatan-pelipatan dunia menjadi sebuah kampung kecil” merupakan imbas tak terelakkan dari revolusi teknologi informasi. Sebuah perubahan radikal penyebaran pesan komunikasi dari sekedar lisan dan tulisan, ke dalam bentuk audio, visual, hingga audio visual. Dari komunikasi satu arah menjadi interaktif. Peningkatan kapasitas kecepatan dan kemampuan pesan komunikasi menembus ruang dan waktu, serta kontinyu dan dinamis.

Teori lain yang turut mendukung bahwa globalisasi tidak terelakkan, adalah revolusi transportasi. Dimana manusia mampu menembus satu ruang ke ruang lan dalam waktu sangat singkat. Misal kemajuan pesawat terbang.

Definisi paling pas menurut fakta dunia hari ini tentang globalisasi, ternyata adalah sebuah proses penyeragaman dunia dengan standar tertentu—westernisasi (lihat : Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan). Menyerang dan melibas semua batas dan ruang, seperti agama, nasionalitas, ras, dan sejarah lokal. Menciptakan krisis eksistensial di setiap ranah budaya-sosial diseluruh dunia.

Media Massa sebagai Senjata Kapitalis

Pemahaman klasik mengenai media massa –koran, majalah, radio, TV, broadcast– ialah instrumen komunikasi yang berfungsi sebagai perantara. Sebagai penengah. Dua pihak yang masing-masing berperan sebagai penyampai dan penerima pesan menggunakan media massa sebagai mediasi untuk saling berkomunikasi, bertukar pesan, lantas saling memahami isi pesan tersebut (lihat artikel : Hariawan Suhatmanto, Kapitalisasi Media dan Corporate Image).

Media massa merupakan salah satu instrumen penting dalam jalan agenda globalisasi ini. Dalam konteks masyarakat modern, merupakan intrumen dengan apa pelbagai bentuk komunikasi dilangsungkan.

Revolusi media turut membawa ilmu pengetahuan serta informasi ke seluruh dunia. Namun, hal-hal negatif seperti hiburan, gaya hidup, pornografi, dan budaya pop tak bisa dipungkiri juga mengikut dalam kasus perkembangan ini.

Pahami kutipan berikut :

Penerbitan surat kabar adalah bisnis berskala kecil yang resikonya besar (bahkan sebuah data menyebutkan bahwa sekitar 75 % surat kabar bangkrut karena persoalan finanasial). Namun demikian, ternyata banyak sekali pengusaha yang tertarik untuk berinvestasi di bidang ini.

Mengapa ? yang paling masuk akal, mereka memerlukan pula sebuah bisnis ‘idealis’. Yang syukur-syukur bisa menjadi juru bicara atas berbagai kepentingan bisnis dan politiknya.

(lihat : MR Kurnia Dkk, Meretas Jalan Menjadi Politisi Transformatif)


Satu pertanyaan kritis ialah : Mungkinkah media memberitakan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan pemilik modal yang justru merupakan darah nadi hidup media tersebut ?

Untuk lebih memahami media massa dalam definisi yang lebih radikal dan realis, pahami pula kutipan berikut :

Sementara itu, media global secara mudah, didefinisikan sebagal sistem media komersial yang telah berhasil membuat informasi sampai pada tingkatan global. Ia didominasi oleh sejumlah kecil korporasi media transnasional yang sangat kuat dan biasanya berbasis di Amerika Serikat. Ia adalah sebuah sistem yang bekerja untuk meningkatkan justifikasi bagi perlunya pasar global dan menyebarkan nilai-nilai komersial, sementara kritik jurnalisme dan budaya tidak menjadi perhitungan bagi kepentingan korporasi jangka panjang. (McChesney, R., 1997)

Akhirnya, media massa telah mengalami perluasan peran dan ruang dengan potensinya, menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan ideologi negara—dalam hal ini kapitalis neo-liberal. Sebagai alat mendapatkan legitimasi publik bagi kebijakan-kebijakan yang sebenarnya sering bertolak belakang dengan keinginan publik itu sendiri.

Publik cuma sebagai objek sekaligus subyek dimata media yang sangat mudah dimanipulasi. Tentu ini saja bukan hal yang fair, sebab bersifat satu arah. Mereka memberi stigma atau label pada publik demi melayani kepentingan elit politik. Pemaksaan label ini merupakan pemaksaan ideologi pada publik. Dan teknik bagaimana publik melihat sesuatu sesuai dengan sudut pandang keinginan elit politik.

Rakayasa Budaya Massa— Hegemoni

Jean Baudrillard menyatakan bahwa realitas masyarakat sekarang tidak direfleksikan oleh TV dan koran, namun justru masyarakat itu adalah refleksi-refleksi dari citra-citra yang disajikan oleh media. Artinya, realitas dalam media bukanlah gambaran dari masyarakat itu. Citra-citra dalam medialah yang membentuk realitas dalam masyarakat tersebut.

Simpelnya, media massa membentuk realitas kehidupan masyarakat sesuai dengan arah yang sejalan dengan ideologi kapitalis neo-lib. Bukan realitas apa adanya atau bahkan arah yang diinginkan oleh rakyat— kesejahteraan.

Rekayasa informasi global inilah yang faktanya sekarang terus berlangsung, melalui media-media massa global. Masyarakat global diberi ketidakberdayaan (disempowerment) dalam berbagai hal menghadapi hegemoni kepentingan-kepentingan barat -terutama AS- dapat terwujud. Dalam bidang ekonomi, AS berhasil mengglobalkan berbagai produk industrinya, sehingga menjadi “selera dunia” (global taste). Dalam bentuk food (makanan), fun (hiburan), fashion (pakaian), dan thought (pemikiran).(lihat: Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat)

Intinya, media massa telah membentuk budaya global dalam bentuk budaya massa yanag menguntungkan kapitalis neo-lib. Membentuk logika masyarakat menjadi materialis dan cenderung kemaruk ketika berhadapan dengan iklan-iklan barat. Bahasa populernya Dunia McWorld, yang sering dilambangkan dengan McDonald, MTv, Macintosh. Filter dalam hal ini, menjadi teramat sulit dilakukan.

Ini membuat korporasi-korporasi—sebagai instrumen pelaku sistem neo-liberalisme—mendapat keuntungan ekonomis berlipat ganda. Terlihat imperatif media berkorelasi dengan imperatif pasar (ekonomi). Artinya, media menjadi mitra korporasi dalam mengeruk keuntungan yang berlipat ganda.

Beberapa ahli sepakat, bahwa hukum ekonomi telah dibalik—mereka menciptakan pasar terlebih dahulu dengan menciptakan budaya massa yang berwujud konsumerisme, sehingga saat ditawarkan produk-produk konsumen (publik) akan langsung menyerbu.

Sebab, korporasi-korporasi yang berparadigma kapitalis neo-liberal ini memfokuskan perhatiannya pada pertumbuhan ekonomi yang berujung pada produksi massal barang-jasa tanpa kontrol. Surplus barang tak terelakkan, pasar domestik pun tak bisa menghabiskan persediaan barang-jasa tersebut.

Paradigma “memasarkan barang” saja menjadi tidak cukup, mereka mulai berpikir “menciptakan pasar” dibelahan-belahan negara lain. Ini berkorelasi dengan sifat kapitalisme itu sendiri yang cuma bisa hidup di alam internasional. Disinilah letak peranan media massa, menjadi “pekerja pra-produksi”, menciptakan pasar dengan opini, informasi-informasi selektif, dan iklan. Hingga budaya massa sebagai konsumen telah siap sedia untuk menghabiskan uangnya demi menjawab tantangan “modernisme life style” tersebut.

Sebenarnya tak hanya barang dan jasa yang dipasarkan, tapi juga gagasan/ide. Kita bisa lihat, media massa penuh dengan mem-bombastis-kan kata-kata serupa demokrasi, HAM, postmodernisme, humanisme, pluralisme, liberalisme, hedonisme, d.l.l. Baik secara ekspilit maupun emplisit. Dengan dibalut analisis oleh “pakar-pakar” berparadigma neo-lib. Tentu saja tidak disertai kolom untuk mendiskusikannya secara kritis.

Tentu negara dan korporasi tak hanya merasa cukup mendapat keuntungan lewat penjualan barang dan jasa. Ide/gagasan tak kalah penting, sebab titik potensi inilah yang akan membuat rakyat tanpa sadar berpola pikir dan pola sikap sesuai sistem yang mengangkangi mereka—kapitalis neo-lib. Hingga kekuasaan ideologi tak hanya dilestarikan oleh negara-korporasi namun juga oleh publik. Ini yang kita sebut dengan hegemoni.(lihat: Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara & Hegemoni )

Propaganda Media

Propaganda dalam pengertian sesuai praktek media boneka ini ialah, bagaimana manipulasi data dan fakta, guna menggiring opini publik—hingga massa bersikap dan bertindak sejalan dengan kepentingan modal. Bahasa Giddings “persetujuan tanpa kesepakatan”, cukuplah rakyat “setuju” atas kebijakan-kebijakan pemerintahannya –kebijakan dalam persfektif neo-lib- tanpa harus “sepakat”. Arti setuju disini, ialah ketidakberdayaan dalam menolak. Sebab posisi yang amat lemah, baik untuk memahami hegemoni itu sendiri, ataupun dalam daya resistensi publik. Setuju disini berarti pula publik sebagai sekedar “partisipan” bukan ”pemain”.

Dalam sebuah negara totaliter, negara mengontrol publik dengan kekerasan dan paksaan-paksaan. Sedangkan dalam negara demokratis yang “bebas dan merdeka” negara tentu tidak bisa melakukan hal demikian, disitulah perlunya tenik propaganda.

Media massa juga menjadi senjata ampuh bagi perebutan citra (Image). Siapa yang berhasil membuat image terbaik, ia akan memenangkan legitimasi publik dalam keinginannya, ataupun sebaliknya. Itulah mengapa korporasi di era ini, tidak hanya memfokuskan pada bagaimana produksi barang dan jasanya laris manis, namun juga –lewat humas- memenangkan hati publik, seolah-olah korporasi tersebut turut “memajukan ekonomi kesejahteraan rakyat” dan “milik bersama”. Tanpa menyinggung fakta, bahwa korporasi-korporasi semacam ExxonMobile, Freeport dan sejenisnya tak lebih dari perampok harta sumber daya alam rakyat.

Kekuasaan nyata pemegang semua ini, ialah kalangan pebisnis atau pemilik modal (kapitalis). Mereka ini yang mampu merekayasa persetujuan dengan akses ke ranah politik, sumber daya yang dimilikinya, serta akses media massanya —kepadanyalah kita bekerja. Jika kita telah termakan propaganda (lihat : Noam Chomsky, Politik Kuasa Media)

Berikut beberapa teknik propaganda, yang berguna untuk memanipulasi pemikiran publik, serta menggiring opini publik agar “setuju dan searah” dengan kebijakan-kebijkan negara dan modal :

1. Menyeleksi realitas, mana yang perlu diketahui publik dan mana yang tidak boleh diketahui.
2. Jikalau pun diberitakan, biasanya terjadi “pemangkasan” dan “penyensoran” terhadap benang merah atau fakta penting yang sensitif bagi penguasa dan modal. Chomsky menyebutnya dengan format “concision”.
3. Mengalihkan perhatian publik, pada isu-isu minor (kecil). Hingga isu-isu mayor (utama) seperti distribusi kekayaan, kemiskinan, mutu pendidikan, perampokan SDA terlepas dari diskusi publik. Intinya, fakta tersebut disembunyikan dalam “diplomasi diam”.
4. Stigmatisasi negatif golongan, seperti “teroris, fundamentalis, gerombolan pengacau” yang mana intinya untuk mendikotomisasi publik dalam kelompok-kelompok. Lalu mendiskriminasi mereka yang terstigmatisasi tersebut dari mayoritas publik. Sebab kelompok ini berbahaya bagi eksistensi sistem. Publik/rakyat harus “diselamatkan” dari pengaruh mereka. Perlu diketahui pencitraan buruk Islam politik ini, merupakan satu metode “War on Terrorism”. Media salah satu pelaku utama.
5. Newspeak dalam istilah George Orwell, sebuah pencabutan makna asli dari sebuah kata. Menundukkan kata terhadap kepentingan pemakaian segolongan orang (lihat : Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional )
6. Pembiasan berita, lewat pemilihan bahasa dan cara penyampaian fakta.

Maka ada benang merah atau katakanlah kaidah fundamen dalam memahami media massa boneka ini, yaitu : Media adalah suatu “Sistem pasar terpimpin” disetir oleh profit. Dan dipandu oleh pemerintah. Yang mana kerap membuahkan hal yang sama. Informasi yang “diarahkan” agar sesuai dengan suatu agenda – secara politik maupun finansial dalam propaganda (lihat : David Cogswell, Chomsky untuk Pemula)

Krisis Identitas—Alienasi

Dalam konsep Marxisme, ada yang disebut dengan teori alienasi. Alienasi, adalah sebuah proses dimana seorang manusia dipisahkan dari dirinya sendiri dan kehidupannya. Atau katakanlah manusia tersebut merasa asing. Masa lalu manusia merasa hidup harmonis, tapi tiba-tiba terjadi keterputusan. Dan rasa asing tersebut tidak terelakkan.

Kita kaitkan dengan fakta hari ini. Umat Islam dulu hidup dalam peradaban yang maju secara ilmu dan materi. Kaya akan moralitas. Namun, tiba-tiba harus hidup dalam kenyataan sekarang dimana dunia Islam mengalami kemunduran, dekadensi moral, serta keterjajahan.

Saat kesadaran tersebut tercipta dalam seorang muslim (individu), kesadaran yang tercipta dari komparasi dulu dan sekarang. Dan mengetahui konspirasi Barat dalam menjajah dunia Islam sebagai penyebab utama. Maka, ia akan berontak dengan kembali kepada identitasnya sebagai seorang muslim. Dan menyebarkan kesadaran tersebut kepada umat (kolektif). Sehingga gerakan, organisasi, atau demonstrasi, dan lainnya akan digunakan sebagai wujud penyadaran realitas bahwa umat Islam mundur sebagai akibat hegemoni Barat dan krisis identitas.

Gerakan atau wadah perkumpulan yang memiliki “budaya tinggi dan tandingan” ini, akan menjadi tempat menuntut pengakuan identitas diri. Yang mampu mereduksi pengaruh hegemoni barat lewat globalisasinya.

Lalu, siapa yang mengakibatkan krisis identitas dan alienasi ini? Tentu saja Barat lewat globalisasinya. Faktanya banyak sekali, sering kita sebut dengan “Islam KTP”. Seorang muslim yang bersikap dan berpikir bukan dengan standar dan kriteria sebagai wujud kata “muslim” itu sendiri.

Alienasi ini sebuah taktik jitu, dimana negara kapitalis tidak harus repot melawan sebuah upaya pemberontakan. Namun langsung pada bagaimana menghilangkan identitas yang berpotensi menimbulkan pemberontakan tersebut. Dan mengasingkan publik dari kolektifitas gerakan “berbahaya” bagi sistem ini.

Analisisnya begini, media massa menjadi alat dominan dan potensial lewat globalisasi dalam menyeragamkan dunia dalam satu standar—nilai-nilai Barat. Hingga menyamarkan atau membuat krisis bagi mereka yang memiliki identitas tidak sejalan dengan nilai-nilai Barat. Difasilitasi negara dan korporasi, dengan sumber daya dan modal luar biasa, serta produksi produk budaya dalam frekuensi yang amat besar. Melibas proses kognitif dan proses sosial publik dalam melahirkan pribadi maupun kolektifitas yang memiliki identitas jelas (lihat: Rizki Saputro, Peran Media Global dalam Pembentukan Identitas Islam di Indonesia ). Konteks dunia Islam, umat kehilangan potensi generasi yang memiliki identitas Islam yang kuat.

Tidak hanya itu, alienasi ini juga berwujud dalam citra-citra penuh ”dunia impian” yang akan menjauhkan kita dari kehidupan nyata. Seperti sinetron penuh cinta dan kesenangan hidup. Padahal kehidupan nyata itu ialah : kemiskinan, kebodohan, dan keterjajahan.

Memahami Media pada Tempatnya

Konsep ideal yang kita inginkan tentang peranan media adalah sebuah instrumen dimana ia menjadi penyedia informasi yang akurat, valid dan obyektif dalam fakta. Subyektif dalam memihak kepada publik pembacanya. Media edukasi dan kontrol sosial. Serta bargaining postion yang kuat dalam menyuarakan apa yang publik inginkan terhadap pemerintahannya. Intinya, kritis serta idealis.

Namun, pada faktanya ; media justru menjadi alat hegemoni dalam mempertahankan sistem penguasa dan korporasi—dalam kasus ini sistem kapitalis neo-liberal. Nilai edukasi lebih mirip pembodohan massa. Pornografi yang merusak dianggap kebebasan pers. Budaya pop yang materialis, konsumeris, materialis justru dilestarikan. Dan publik, menjadi pihak tak berdaya dalam mengahadapi rekayasa budaya global ini.

Tentu amat keliru ketika melihat fakta ini, menghukumi media sebagai alat yang “haram”. Media sebuah media yang netral, bahkan memiliki potenis positif yang luar biasa ditangan yang benar. Propaganda dan hegemoni media disebabkan dikangkangi oleh sistem kapitalis neo-lib, sebagai salah satu instrumen dalam neo-imperialisme ini.


Keliru pula jika semua dari media itu negatif, jadi harus dilihat secara obyektif dan diletakkan secara proporsional. Dalam menganalisis media ada dua hal yang penting untuk dipegang. Pertama, logika keuntungan. Dimana media berfungsi memudahkan sekaligus melegitimasi korporasi maupun negara menjarah harta rakyat—ekonomi. Kedua, media menjadi alat hegemoni untuk melanggengkan status quo dalam berkuasa selama mungkin—politik.

Intinya, saya tidak mengkritisi komunikasi media massa, namun kepemilikan media massa yang dipakai elit kapitalis dalam menjalankan agenda neo-imperialismenya.

Impilikasi Negatif Paling Nyata

Secara ekonomis terbentuk budaya massa yang hidup dalam imaji-imaji. Imaji yang dimaksud disini, berupa materi, jabatan, penampilan fisik. Semua dihitung dengan logika untung-rugi serta hal-hal pragmatis lainnya. Budaya massa yang tak terbiasa dengan makna, spiritualisme, atau idealisme.

Kita dipaksa patuh dengan logic of capital, yakni hal-hal yang dangkal dan cepat laku. Sering pula disebut dengan instant culture. Anthony Giddens menyebutnya sebagai dunia yang berlari, dan semua yang sedang berlari satu track lebih tinggi ini memang tidak memiliki kesempatan untuk merenungkannya lebih dalam. Yang penting dalam dunia ini ialah membeli dan menjual (lihat : O. Solihin, Invasi Pemikiran dan Budaya Barat di Dunia Islam)

Tataran politik, rakyat akan selalu berada di pihak terlemah dan terbodohi, sebab informasi penting telah dimanipulasi sebelum sampai ketangan. Mereka tak punya posisi kuat melawan dari segala bentuk penindasan legal—apalagi yang ilegal—dalam menuntut kesejahteraan dalam hidup mereka.

Dan yang paling berbahaya, krisis identitas individu serta kolektif. Yang melahirkan sikap kalah, diam tanpa resistensi.

REFERENSI

Buku :
Adian Husaini, Wajah Perdaban barat, Gema Insani Press, Jakarta : 2006
David Cogswell, Chomsky Untuk Pemula, Yogyakarta, RESIST book : 2006
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, 2001
MR Kurnia, dkk, Meretas Jalan Menjadi Politisi Transformatif, Bogor, AL-Azhar Press : 2004.
Noam Chomsky, Neo-Liberalisme : Memeras Rakyat, bandung, Profetik : 2005.
______, Politik Kuasa Media, Yogyakarta, PINUS : 2006
______, Menguak Tabir Terorisme Internasional, MIZAN, 1986.
Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci, Negara & Hegemoni, Jakarta : Pustaka Pelajar : 1999.

Artikel :
Hariawan Suhatmanto, Kapitalisasi Media dan Corporate Image, www. equator. com
O. Solihin, Invasi Pemikiran dan Budaya Barat di Dunia Islam, Jurnal Al-Wa’ie, 2003.
Rizki Saputro, Peran Media Global dalam Pembentukan Identitas Islam di Indonesia, , gemapembebasan. Or.id, 2006
Pribadi, KAPITALISME, HEGEMONI, DAN INTELEKTUAL PENGKHIANAT( Sebuah Sistem ke-agen-an yang saling terkait), 2007.

Sumber :
Muhammad Syarafuddin
+ Menteri Departemen Penelitian dan Intelektual BEM fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Antasari banjarmasin
+ Pimpinan Umum Lembaga Pers mahasiswa SUKMA IAIN Antasari Bjm
+ Direktur REBEL Institute bjm
http://www.gemapembebasan.or.id/cetak.php?id=548
12 Maret 2009

Sumber Gambar :
http://www.foothilltech.org/9th-grade-action-based-project/mass-media/mass-media.jpg
http://www.conspiracytheoristclothing.com/sheep_tv.jpg

No comments:

Post a Comment