Monday, May 25, 2009

Peran Media TV


Jamie Stobie, sutradara film FREEDOM MACHINES, yang berasal dari Amerika bercerita tentang filmnya yang bercerita mengenai issue issue difabilitas atau kecacatan, berkata “ I don’t have any visible disabilities, and it was very hard for me to get that perspective “. Ia bekerja sama dengan aktivis kecacatan di California Utara, hanya untuk mendapatkan perspektif mereka secara utuh, dan menangkap apa yang benar benar mereka inginkan, dan tetap saja ia merasa ragu, apakah ia orang yang tepat untuk bisa memahami dunia yang akan diangkat dalam filmnya. Lebih lanjut ia mengatakan “ We screened the film many times for people in this community. We would either end up with a film that the filmmakers liked, that people with disabilities hated, or we would end up with a cut that people with disabilities thought was right, but the filmmakers would say didn’t work because the story wasn’t there. It was really a challenge. “

Dari cerita diatas ada satu hal yang sangat penting, yakni bagaimana mendapatkan perspektif mengenai dunia difabilitas atau kecacatan secara proposional. Ada pola pandang yang salah terhadap komunitas ini, yakni banyak orang berpikir bahwa seharusnya tetap menjadi tanggung jawab keluarganya masing masing, dan tidak membebani dunia luar. Kita lupa bahwa cacat fisik yang diderita mereka tidak berhubungan dengan intuisi, pemikiran, dan kecerdasan mereka. Banyak yang ingin tetap sekolah, bekerja dan berinteraksi seperti halnya orang orang normal disekitarnya. Bahkan bagi Rory Thomas Hoy, menjadi seorang penderita autis bukan halangan untuk menjadi seorang sutradara, mengesankan ia telah membuat kurang lebih 26 film pendek, dan beberapanya telah diputar di BBC program. Salah satunya berjudul AUTISM AND ME telah memenangkan Camelot Foundation’s annual 4th award. Ia menjelaskan latar belakang filmnya “The whole idea behind my project is to help others who have been affected by autism in the best way I can, and that’s by making a film, as that’s what I’m best at doing! It’s not easy being autistic and other people don’t know how we feel. In my film, I can give them an idea with everyday examples, so they can, hopefully, relate to them. It will also help them to understand us more “.

Dalam kehidupan bermasyarakat masih ditemui rendahnya tingkat kesadaran dalam mengapresiasi masalah difabilitas (kecacatan). Dalam kehidupan sehari-hari, meski tiap-tiap komponen masyarakat fasih melafalkan term demokrasi, pada kenyataannya hasrat untuk menempatkan kaum difabel pada posisi sosial yang adil dan setara masih rendah. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat cenderung enggan menerima kaum difabel “apa adanya” dalam lingkungan sosial mereka.. Hal ini tampak pada sulitnya memenuhi keinginan kaum difabel untuk untuk mendapatkan aksesibilitas ruang publik dalam menjalani kehidupan sehari hari. Tak ada yang berpikir bahwa hak hak mereka sebagai warga negara setara dengan mereka yang normal dan sehat.

Saya mempunyai teman, seorang music composer yang biasa membuat musik untuk film film iklan TV.Tak ada yang tahu jika musik musik indah dari sebuah iklan lahir dari tangannya, seorang penderita cacat yang harus memakai kursi roda. Jika ia memiliki 10 orang karyawan, yang katakanlah masing masing memiliki 2 orang anak, maka ia bisa menghidupi 40 orang normal. Bagaimana jika kita mempunyai 10,000 orang difabel yang profesional dengan pekerjaannya, berarti mereka bisa menanggung hidup sejumlah 400.000 orang. Apakah kita tega menutup kesempatan bagi mereka yang berpotensi menghidupi ratusan ribu bahkan jutaan orang lain, karena pemikiran kalkulasi yang picik, bahwa jumlah difabel yang sedikit akan menjadi tidak ekonomis kalau harus dibuatkan aksesibilitas seperti ramp bagi kursi roda dan guiding block bagi tunanetra misalnya.

Lebih lanjut dalam kerangka acuan National Workshop ” Disability awareness for journalist ” di Yogjakarta awal tahun 2006 disebutkan, ”…Kondisi tersebut tentunya cukup memprihatinkan. Pasalnya, marginalisasi peran dan fungsi difabel di tengah iklim demokrasi hanya akan mereproduksi satu bentuk kekerasan sosial baru di masyarakat. Kekerasan itu nyata telah terjadi, misalnya seorang tunanetra ditolak mendaftar ujian calon pegawai negeri sipil karena panitia tidak menyediakan soal dalam huruf braille, pemakai kursi roda ditolak mendaftar kuliah karena laboratorium kampus tersebut di lantai dua sementara tidak ada ramp maupun lift, Dinas Tenaga Kerja menolak difabel untuk mengikuti kursus karena menurut mereka tempat difabel adalah di Dinas Sosial, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan yang lain..”

Sangat disayangkan, perhatian media massa melalui industri film dan televisi terhadap permasalahan difabel juga masih rendah. Lalu bagaimana industri ini bisa menjadi kontribusi yang besar bagi pemahaman isue isue kecacatan dengan perspektif yang masuk akal dan bertanggung jawab

Pertama tama yang harus dilakukan adalah mendorong media TV dan film sebagai pembongkar bentuk-bentuk kekerasan yang selama ini disembunyikan oleh culture, serta mengubah pola pikir masyarakat yang semula diskriminatif menjadi peduli dan menempatkan difabel setara dengan dirinya. Dalam perkembangan sejarah umat manusia, media ini terbukti berpengaruh terhadap pembentukan pola pikir masyarakat Mulai dari promosi suatu produk, hiburan , propaganda sampai syiar agama bisa memakai media ini. Bagaimanapun juga Film adalah cermin dari budaya bangsa, sehingga pesan pesan atau muatan yang terkandungnya juga merupakan refleksi budaya dan perilaku yang terjadi di masyarakat.. Masih ingat, model potongan rambut pendek ala Demi Moore sempat menjadi trend di kalangan wanita, ketika film GHOST meledak beberapa waktu yang lalu, atau mendadak kaum muda menjadi keranjingan puisi setelah melihat sosok Rangga dalam film ADA APA DENGAN CINTA.

Di negara seperti Russia saja mempunyai program tahunan untuk festival film Internasional untuk film film disability awareness, yang diikuti oleh film film dari seluruh penjuru dunia. Dalam festival film yang diselenggarakan Perspektiva, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang lebih dari satu dekade memberikan pelayanan pada komunitas difabel, menampilkan mulai dari features, docomentaries, publics service announcement sampai animasi , sehingga bisa menjadi sarana media yang menyuarakan keberadaan kaum difabel melalui industri film.

Bahkan ada Festival Cinema for the Deaf , acara tahunan di Chicago untuk film film bagi kaum tuna rungu, yang dibidani oleh Association of Deaf Media Professionals. Kita membayangkan diantara gegap gempitanya film film Holywood, mereka masih bisa memproduksi ( dan banyak ) film film khusus yang adegannya tidak memakai dialog suara, tetapi gerakan gerakan tangan untuk berkomunikasi. Lalu bagaimana dengan di Indonesia ? Sejalan dengan kemajuan film nasional saat ini, sangat disayangkan tidak ada satu tema mengenai isue ini yang diangkat dalam cerita skenario. Sangat ironis , jika dalam film film jaman era tahun 70 an saja kita masih menemui cerita cerita seperti anak yang terjatuh lalu menjadi buta, tetapi masih berusaha menjalani hidupnya dengan tegar. Sedangkan pada sebuah sinetron televisi, kita melihat sinetron Cecep yang dibintangi Anjasmara, tidak sama sekali menyuarakan aspirasi komunitas difabel. Hanya sosok bodoh yang lucu yang terus dieksploatasi, demi memancing gelak tawa pemirsa.

Mengapa hal itu terjadi ? mungkin karena para produser berpikir lebih pragmatis bahwa menjual program acara atau cerita yang bersifat komedi, horor atau percintaan remaja dengan dunia cafe atau mall lebih menjual angka rating tontonan mereka. Padahal semua itu tergantung kepada bagaimana cerita itu diangkat. Ada ilustrasi kasus menarik, dalam cerita Si Buta dari Gua hantu yang juga diangkat ke layar lebar dan televisi. Setidaknya secara komersil film itu juga diminati dipasar dan di sisi lain bisa memberikan perspektif baru bahwa seorang jagoan pembela kebenaran tidak harus orang yang sehat jasmaniah.

Kedua, adalah bagaimana memberdayakan peran Pemerintah. Sebenarnya setelah tumbangnya orde baru, kita memiliki kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menaikan kesetaraan komunitas difabel ini, mengapa tidak, dengan memiliki presiden dan ibu negara yang ( kebetulan ) memiliki handicap fisik secara jasmani, seharusnya isue isue ini bisa menjadi program konsisten dari pemerintahan mereka. Jaman dulu saja, dalam acara berita di TVRI , di pojok gambar selalu ada caption berisi orang yang menjelaskan isi berita dengan gerakan tangan bagi penderita tuna rungu, yang mana saat ini sudah tidak ada lagi di televisi nasional. Jika kita lihat di televisi saat ini banyak iklan iklan layanan masyarakat dari Pemerintah ( Public Service Announcement ) mengenai penebangan hutan, lingkungan hidup, kekerasan terhadap wanita, PMI, sampai iklan untuk edukasi pencegahan demam berdarah dan flu burung. Mengapa sama sekali tidak ada alokasi dana untuk pembuatan iklan layanan masyarakat mengenai aspirasi dan kesetaraan kaum difabel. Ini menjadi bukti rendahnya apreasiasi Pemerintah terhadad isue isue ini. Padahal banyak BUMN, Bank atau perusahaan rekanan pemerintah yang bisa dengan mudahnya mendanai pembuatan iklan layanan masyarakat ini. Dengan angka 1 milyar rupiah saja sudah bisa membuat sebuah iklan layanan masyarakat termasuk dengan biaya pemasangan di media televisi selama sebulan. Bandingkan dengan angka triliunan rupiah kredit macet yang terbuang sia sia.

Dengan adanya iklan layanan masyarakat yang berulang ulang, terlebih ditambah jatah penanyangan secara gratis dari pemilik TV swasta, maka akan menggulirkan bola kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat. Pemilik gedung, manufaktur kendaraan, pengelola fasilitas dan sarana transportasi umum, sampai perusahaan atau kantor kantor.

Lebih jauh Jamie Stobie mengatakan, “ The most interesting thing I learned is how the word “disability” becomes a label. There’s a great dissonance between those of us who feel we’re normal and those whom we label as disabled. We’re often afraid to make eye contact with people in wheelchairs, who don’t look quite “normal.” And that changed me forever, when I realized that the barriers that divide us are not so much physical as cultural, that they grow out of the way that we look at people. “

Oleh karenanya, dalam proses transformasi sosial menuju terciptanya tatanan kehidupan bersama yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan dan kebebasan, keterlibatan media massa ini diperlukan. Keterlibatan dalam konteks ini tidak saja terkait dengan fungsi edukasi sosial yang melekat pada media, tetapi juga bagaimana film dan televisi bisa memainkan peran kritisnya dalam mendekonstruksi ketimpangan sosial yang memarginalkan peran dan posisi kaum difabel di masyarakat.

Sumber :
Iman
http://blog.imanbrotoseno.com/?p=6
25 Mei 2009

Sumber Gambar:
http://www.bangakbar.com/gambar/article/summary/693/remote_tv.jpg

No comments:

Post a Comment