Monday, May 25, 2009

Bedanya Menjadi Jurnalis di Media Surat Kabar dan Media TV


Apa sih bedanya, kerja sebagai jurnalis di media suratkabar dan di stasiun televisi siaran? Dalam prinsip jurnalistik yang diterapkan, secara garis besar sebenarnya tidak ada perbedaan. Kriteria layak berita di suratkabar dan di media televisi, relatif juga sama. Hanya, di media televisi ada penekanan lebih besar pada aspek visual (gambar). Hal yang bisa dipahami, karena televisi adalah media audio-visual.

Saya pernah bekerja selama tujuh tahun di Harian Kompas (1988-1995), dan sekarang bekerja di Trans TV (sejak Februari 2002). Berdasarkan pengalaman pribadi, perbedaan yang saya rasakan -- sebagai jurnalis di dua jenis media itu -- justru pada aspek lain. Yaitu, lebih pada kejelasan porsi tanggung jawab dan peran kinerja, yang bisa berpengaruh langsung pada kemajuan atau kemunduran perusahaan media tempat saya bekerja. Juga, pada perbedaan peluang untuk “tampil” berkarya secara individual.

Di media cetak, seperti di harian Kompas, saya bisa menulis berita atau artikel dengan byline, mencantumkan nama sendiri di tulisan tersebut. Meskipun setiap tulisan yang dimuat itu sudah melalui proses penyuntingan oleh orang lain, baik dari segi bahasa ataupun content, saya tetap bisa mengklaim bahwa itu adalah tulisan karya “saya”. Bisa dibilang, 90 persen dari materi yang dimuat itu adalah karya saya.

Di media televisi, tampil secara individual itu sulit dilakukan, karena semua paket berita ataupun tayangan benar-benar dikerjakan secara kolektif. Untuk liputan berita pun minimal sudah harus dikerjakan berpasangan, oleh seorang reporter dengan seorang camera person. Walaupun, bisa juga dilakukan seorang diri sebagai VJ (video journalist).

Namun, menjadi VJ jelas merupakan tugas berat yang merepotkan. Peran VJ ini biasanya lebih banyak dilakukan untuk menyiasati kekurangan tenaga camera person. Jadi, reporter diharapkan juga bisa memegang kamera. Belum lagi menyebut, hasil liputan ini harus diedit oleh seorang editor, yang ditugasi khusus untuk itu. Peran seorang editor sangat penting, karena hasil liputan yang bagus pun bisa jadi berantakan, jika dikerjakan oleh editor yang buruk.

Perbedaan yang lain, di media suratkabar, kemajuan (baca: peningkatan tiras atau sirkulasi, serta pemasukan iklan) suratkabar itu tidak mudah diatribusikan pada peran individu atau rubrik tertentu.

Apakah penjualan Kompas meningkat karena pembaca menggemari tulisan kolom Budiarto Shambazy, yang kritis dan agak kocak? Atau karena menikmati tulisan Maria Hartiningsih, yang sensitif dalam mengangkat nasib kaum tertindas? Atau karena isi tajuk rencananya, yang mencerahkan? Atau oleh artikel-artikel opini yang dimuat? Atau oleh rubrik olahraga di halaman dalam? Kita bisa menduga-duga, tetapi sulit untuk menjawab dengan pasti.

Oke, tentu saja bisa dilakukan survei pembaca, untuk mencari jawabannya. Tetapi, kalau mau jujur, seberapa sering sih sebuah suratkabar mengadakan survei pembaca? Berbeda dengan data rating dan share stasiun TV, yang dipasok oleh AGB Nielsen setiap minggu (bahkan setiap hari), pengelola suratkabar tak mungkin mengadakan survei setiap minggu atau setiap bulan. Jika setiap tahun diadakan satu kali survei saja, sudah bagus!

Jadi, kecuali karena perilaku jurnalis yang jelas terlihat (misalnya, sering membolos, atau sering terlambat menyerahkan tulisan), agak sulit untuk menilai kinerja seorang jurnalis di suratkabar. Ini sangat berbeda dengan di media televisi, yang setiap minggu (bahkan kini setiap hari) ada data rating dan share setiap program, yang dipasok oleh lembaga pemeringkat AGB Nielsen. Setiap minggu, jelas terlihat, program mana yang share dan ratingnya ambruk, dan program mana pula yang meningkat.

Jadi, setiap producer yang menangani program TV tertentu, tidak bisa bersembunyi atau “lepas tangan.” Jika rating dan share sebuah stasiun TV merosot drastis, dengan melihat angka rating dan share setiap programnya, dengan mudah bisa ditunjuk producer-producer mana saja yang harus bertanggung jawab atas kemerosotan itu. Ini tentu ada untung-ruginya.

Untungnya, kinerja setiap producer atau jurnalis di media TV sangat transparan. Setiap orang bisa menilai, karena ada ukuran kinerja yang jelas, yaitu rating dan share setiap program. Ini memberi tuntutan pada setiap producer dan crew program yang dipimpinnya, untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja. Walaupun, bisa saja didebat bahwa angka rating dan share itu tidak identik dengan kualitas program.

Namun, dalam iklim industri media televisi sekarang, bottom line-nya memang bukan pada kualitas program, tetapi pada keuntungan dari pemasukan iklan. Suka atau tidak, itu kenyataannya. (Jakarta, 16 Mei 2008)

Sumber :
Satrio Arismunandar
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=8240

Sumber Gambar :
http://media.photobucket.com/image/tina%20tv%20one/RedsBlack/lain2/tina4.jpg

No comments:

Post a Comment